Pages

Ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kebenaran yang harus kita tolak untuk mempercayainya (Jacques Derrida)...

Jumat, 24 Desember 2010

Teori Kritis : Asumsi Analitis Dalam Hubungan Internasional


 Hubungan internasional sebagai suatu kajian interdisipliner dalam narasi besar historisnya selama kurun waktu sebelum 1980an selalu dimaknai sebagai suatu disiplin ilmu yang cenderung penuh kepastian dan statis. Selama kurun waktu tersebut, mahasiswa-mahasiswa Hubungan Internasional diarahkan untuk memahami konteks Hubungan Internasional dalam standar eksakta yakni menggunakan patokan-patokan fakta dan kepastian dan diarahkan melihat pola hubungan Internasional sebagai suatu pola interaksi politik antar negara dengan suatu batasan-batasan dan nilai-nilai yang pasti( Sugiono dalam Suryana, 2009). Akibat perkembangan jaman yang semakin kompleks dalam segala bidang, memunculkan berbagai realitas baru dalam fenomena Hubungan Internasional yang secara umum belum mampu dijangkau oleh grand theory Hubungan Internasional. Puncaknya terjadi pada masa post cold war yang memunculkan berbagai kompleksitas realitas baru seperti isu-isu global warming, kemiskinan, lingkungan, masalah demografi dan nasionalisme yang belum tersentuh oleh grand theory sehingga memuculkan suatu kritikan baru yang disebut teori kritis. Teori ini mengadopsi pandangan dari para Marxis seperti Imanuel Kant dan Karl Marx yang kemudian disempurnakan oleh beberpa scholar dari Franfurt School seperti Jurgen Habermas, Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Pandangan ini disebut teori kritis karena lebih cenderung menggunkaan perspektif manusia secara individual dan berdasarkan pengetahuan manusia tentang dunia dan berbagai fenomenanya. Jadi, dalam teori kritis asumsi pribadi sangat rentan terhadap kontaminasi asumsi-asumsi pribadi dalam aplikasi teori sehingga membentuk suatu teori yang tidak bebas nilai dan mengandung muatan kepentingan pribadi. Asumsi dari kaum kritis mengatakan bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajhari manusia sebagai suatu entitas sosial yang dinamis dan tidak bebas nilai sehingga sebagai suatu produk dari konstruksi pemikiran manusia, maka ilmu pengetahuan juga harus menempatkan nilai-nilai sosial dalam tataran konsep maupun praktikalnya.



Asumsi-asumsi teori kritis banyak dipengaruhi bahkan diilhami oleh pandangan neomarxisme yang mengkritisi tentang pandangan liberal terhadap persaingan ekonomi yang dinarasikan oleh liberalis. Liberalis menggambarkan bahwa pola interaksi ekonomi ala liberal sebagai produk dari terbentuknya suatu ranah kompetitif dimana terjadi keterbukaan keanggotaan sehingga individu masuk kedalamnya secara sukarela. Hal ini menciptakan suatu celah untuk masuknya kritik bagi kapitalisme liberal yang secara nyata telah menciptakan golongan-golongan kelas sosial borjuis dan proletar yang bernuansa penderitaan kaum proletar. Sebagai suatu reaksi atas minculnya fenomena tersebut, teori kritis yang dikembangkan Franfurt School menganalisisnya sebagai suatu impact dari adanya peran media masa sebagai sarana komunikasi masal untuk menyebarkan paham kapitalisme dan berbagai kepentingan yang menjurus kepada kapitalisme secara luas. Namun, lebih esensial lagi adalah aspek pembentukan serta penyebaran paham dan kepentingan yang diakomodasi oleh bidang pendidikan. Pendidikan esensinya adalah transfer ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang kepada masa yang tidak menutup kemungkinan akan adanya transfer paham pribadi. Individu didoktrin untuk menganggap benar apa yang menurut media masa dan menurut publik benar. Jadi, hal ini menegaskan bahwa kapitalisme yang ada sebagian besar di pelopori oleh media masa melalui pendidikan sebagai substansinya sehingga konsep ini dapat menjelaskan secara kronologis dan kosntruktif mengenai kegagalan para pekerja proletar menentang kapitalisme yang nyata mereka hadapi.

Penjelasan diatas merupakan arti penting peran scholar Franfurt School dalam kontribusinya terhadap Hubungan Internasional. Namun, esensinya pandangan tersebut merupakan intisari dari asumsi Gramsci dan Habermas tentang neorealis yang memandang Hubungan Internasional dari sudut pandang konvensional yaitu all about power. Gramsci dalam pandangannya juga memasukkan pentingnya ideologis sebagai sarana mempertahankan kelas sosial yang ada dan dapat juga digunakan untuk merestrukturisasi kondisi sosial suatu negara. Kaitannya dengan pendidikan, bahwa kaum borjuis atau kaum penguasa dapat menanamkan doktrin melalui aspek pendidikan bahwa keadaan yang ada sekarang adalah suatu kondisi keadaan yang adil bagi semua pihak dengan berpandangan pada kapasitasnya masing-masing. Teori kritis menawarkan solusi bahwa untuk menciptakan progress kearah yang lebih baik maka fondasi yang harus dirubah terlebih dahulu adalah ideology negara tersebut. Dalam kaitan lainnya, Habermas seorang ahli komunikasi menggarisbawahai tentang komunikasi yang cenderung persuasif dalam mengkonstruksi pemahaman manusia terhadap dunia karena dunai ini dibangun diatas fondasi nilai dan norma yang sifatnya interpretatif. Realitasnya, pada post cold war hegemoni dunia dimonopoli oleh sebuah negara yang disebut Amerika dalm pandangan neorealisme. Sistem internasional menjadi unipolar dengan kiblatnya adalah Amerika sebagai suatu entitas politik, hukum dan ekonomi yang dominan secara global. Teori kritis melihat struktur sistem bukan sebagai sesuatu yang seharusnya berlaku global namun lebih kepada suatu hal yang particular karena sangat berpotensi menimbulkan otorisasi kekuasaan. Lebih jauh lagi, dibalik hegemoni esensinya terdapat individual interest yang kecenderungannya adalah kapitalis. Jadi, kaum Kritis mengkritik neorealist melalui sisitem internasionalnya, mereka berpendapat bahwa sisitem yang berlaku secara gloiabl sangat berpotensi menimbulkan global capitalism.

Secara khusus asumsi dan konsep pemahaman Habermas ini melahirkan suatu tipologi baru dalam pola interaksi Hubungan Internasional. Komunikasi dan persuasi yang bagus dapat berkembang kearah diplomasi yang merupakan substansi dari postmodern strategy dalam masa postmodern seperti sekarang ini. Diplomasi sebagai new way dalam menyelenggarakan Hubungan Internasional dianggap telah memenuhi konsep kemenangan ideal menurut Sun Tzu dalam konstelasi internasional yaitu konsep kemenangan yang diraih tanpa mealalui konfrontasi fisik (Sun Tzu, 400SM). Dalam perkembangannya, diplomasi akan menjadi suatu cara baru dalam menyelenggarakan Hubungan Internasional karena dianggap lebih menguntungkan berdasarkan kalkulasi untung rugi secara rasional jika mengadakan perang menurut konsep Clausewitz (Clausewitze, On War). Masih dalam pandangan Habermas tentang komunikasi, maka dapat diaplikasikan dalam level analisis Hubungan Internasional dibidang pengambilan keputusan dalam negara demokrasi. Seperti yang kita pahami, demokrasi menggunakan pemilihan suara dalam menentukan masa depan struktur politisnya. Untuk mendapat dukungan dalam pemiluhan secara demokratis maka perlu suatu komuniksi masa yang baik. Dalam hal ini konsep komunikasi Habermas dapat diaplikasikan secara praktis. Jadi, secara umum teori kritis menambah dan memperluas khasanah kajian dalam Hubungan Internasional. Jika pada sekitar 1980an hubungan Internasional dimaknai hanya sebagai suatu interaksi antara entitas negara saja, maka dengan berkembangnya berbagai paradigm maka isu-isu kontemporer juga mendapat perhatian secara khusus.







REFERENSI :

Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,

Burchill, Scott et al.2005.Theories of International Relations-Third Edition. New York:  Palgrave Macmillian
Steans, Jill and Liyod Pettiford.2005.Introduction to International Relations : Perspective and Themes 2nd Edition. Essey Ashford:Gloori Press Ltd.

Sun Tzu. The Art of War. 400SM

www. Clausewitz.com diakses tanggal 20 Mei 2010 jam 02.00 WIB







Tidak ada komentar:

Posting Komentar