Berbicara mengenai konsep deterrence, defense, dan compllence akan erat kaitanya dengan fenomena perang dingin yang terjadi dalam kisaran tahun 1945 sampai kisaran tahun 1990. Efek dari perang dingin menimbulkan berbagai pandangan dan kajian baru dalam hubungan internasional, misalnya tentang deterrence yang diartikan sebagai sebagai kegiatan yang dilakukan oleh sebuah atau sekelompok negara untuk mencegah negara lain menjalankan kebijakan yang tidak dikehendaki (Plano, 1999). Deterrence juga bisa diartikan sebagai bentuk penolakan untuk mempercayai pihak lain dengan asumsi pihak lain tersebut justru akan memberikan kerugian yang lebih besar. Sarana yang dipergunakan untuk menjalankan kebijakan deterrence bisa berupa penggunaan senjata pemusnah massal (WMDs), kekuatan senjata konvensional, peningkatan kapabilitas militer secara umum, membentuk aliansi, sanksi ekonomi atau embargo, dan ancaman melakukan pembalasan. Dalam poandangan lain, deterrence juga diartikan sebagai dialektika “jangan menyerang saya, atau akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepadamu (Griffith, 2002).” Jadi, dapat ditarik suatu asumsi logis bahwa korelasi antara deterrence dan militer khususnya senjata nuklir sangat erat karena segala aspek deterrence seperti kekuatan senjata konvensional, peningkatan kapabilitas militer secara umum, membentuk aliansi, sanksi ekonomi atau embargo, dan ancaman melakukan pembalasan yang telah disebutkan diatas akan sangat efektif jika didahului dan didukung dengan area militer sebagai kekuatan utama khususnya melalui senjata nuklir. Intinya, deterrence adalah suatu upaya untuk menggertak negara lawan agar tidak melakukan penyerangan. Sebagai contoh adalah Amerika Serikat selama Perang dingin menerapkan strategi deterrence dalam usahanya membendung hegmoni Uni Soviet. Kronologisnya, awal Perang Dingin secara umum ditandai oleh ideologi pembendungan, dimana AS berusaha mempengaruhi negara-negara terutama di Eropa Barat termasuk Korea Selatan agar mempertahankan ideologi liberalis. Ini sebagai bentuk tandingan terhadap US yang terlebih dahulu menyebarkan ideologi komunisnya kepada negara-negara yang hancur dan kalah pada saat Perang Dunia II, semisal negara-negara di Eropa Timur. Jadi, pembendungan ideologi yang dijalankan AS ini dimaksudkan agar ideologi komunis tidak menyebar terlalu luas sebab akan mengancam eksistensi AS. Selain itu, antara AS dan US juga melakukan proxy wars dengan memanfaatkan negara-negara di Afrika, Asia, Amerika tengah, dan Amerika Selatan sebagai pion-pion mereka. Salah satu bentuk dari proxy wars adalah Perang Korea.
Konsep deterrence tidak hanya berlaku untuk intern suatu negara saja namun juga dalam ekstren negara misalnya dalam lingkup aliansi. Strategi ini juga merupakan sebuah strategi perlindungan, negara super power memegang hegemoni melindungi aliansinya.. Salah satu contoh strategi ini adalah dibentuknya NATO (North Atlantic Treaty Organization) oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat bertujuan memperbesar dan menyebarkan kekuatan atau hegemoninya agar bisa mereaksi tindakan Uni Soviet dengan reaksi melalui tindakan dan kapasitas yang sama dengan yang telah dicapai oleh Uni Soviet. Akan tetapi ternyata yang terjadi adanya kondisi itu malah membuat militer Amerika Serikat dan Uni Soviet semakin berkembang bukan malah sebagai sebuah tindakan equalitas. Konsep ini adalah substansi dari dari military defense yang merupakan konsep general dari pertahanan esensial suatu negara. Terlepas dari ada atau tidak situasi konflik yang dihadapi suatu negara, aparatur militer baik sarana dan prasarana militer akan selalu mendapat perhatian lebih dalam arti akan selalu dibangun dan diperkuat karena terkait dengan pertahanan fisik esensial suatu negara. Sebagai contoh Indonesia akan melengkapi persenjataan militernya ketika berkonflik dengan Malaysia misalnya dengan membeli pesawat tempur dan kapal dari negara Barat, namun setelah konflik ini usai maka euforia untuk terus melengkapi persenjataan karena perasaan khawatir bahwa Malaysia akan meningkatkan kekuatan militernya dan menyerang Indonesia tetap berpengaruh terhadap Indonesia (Keraf, 1999). Defense pada dasarnya adalah suatu keadaan dimana suatu negara mencegah agar negara lain tidak memiliki power yang seimbang atau bahkan melebihi power yang dimilikinya, dengan cara menaikkan power negaranya. Kekhawatiran ini akan berujung pada munculnya ketakutan akan kebangkitan lawan sebagai suatu negara hegemon yang dapat megalahkan hegemoni negaranya. Perbedaan yang dapat dilihat antara deterrence dan defense adalah saat dimana sebuah negara sadar terhadap power yang dimiliki oleh negara lain, deterrence yaitu saat mereka sadar bahwa power lawan akan menjadi sebuah kekuatan baru yang mengancam mereka sehingga terjadi pencegahan terhadap terjadinya hal itu dan defense saat sebuah negara sadar bahwa power lawan telah mengancam mereka sehingga yang dilakukan adalah mencegah power tersebut bertambah besar.Konsep diatas dilengkapi dengan konsep compellence yang secara harfiah dapat diartikan sebagai memaksa, namun secara esensi dapat diartikan sebagai bentuk usaha persuasif dalam level yang cenderung koersif suatu negara untuk memaksa negara lawan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan hal yang menjadi kepentingan pihak pemberi compellence. Aplikasi compellence dapat disarikan dari contoh kasus pengembangan nuklir oleh Amerika yang tidak digunakn dalam total war atau perang terbuka melainkan dijadikan sarana teror untuk meng-compel lawan-lawannya. Misalnya dalam perang dingin Amerika menggunakan senjata nuklirnya untuk memperoleh pendukung ideologi politis liberalnya dengan meng-compel negara-negara yang memiliki power dibawah mereka. Dapat dikatakan bahwa konsep compellence ini adalah ranah yang dikuasai oleh negar-negara super power ddalam arti hanya negara-negara kuat yang mampu meng-compel negara-negara yang memiliki power di bawah mereka. Konsep ini juga memasukkan hitungan matematis dalam aplikasinya, karena jika suatu negara akan meng-compel negara lain maka harus diklasifikasikan dulu dimana letak hierarki power negara lawan dibanding negaranya. Dari konsep deterrence dan compellence ini kemudian muncul suatu konsep perilaku yang disebut compliance. Secara harfiah compliance berarti pemenuhan. Pemenuhan disini berarti keadaan dimana suatu negara patuh dan mau melaksanakan kepentingan dari negara yang meng-compelnya maka keadaa tersebut dinamakan compliance.
Jadi, konsep – konsep diatas mengedapkan aspek ketakutan baik secara fisik maupun seara psikis sehingga dapat diasumsikan bahwa ketiga konsep tersebut adalah substansi dari pandangan paham realis yang mengedepankan efek ketakutan akibat teror. Secara kronologis dapat juga digambarkan bahwa compliance adalah hasil akhir dari keberhasilan aplikasi deterrence dan compellence, namun pihak lawan juga akan melakukan defense sebelum mencapai keadaan tersebut, jadi konsep defense adalah raksi dari adanya deterrence dan compellence.
Sebagaimana kodrat teori adalah untuk dikritik (Suryana, 2009), berkaca pada teori-teori yang telah ada sebelumnya seperti realis, liberlais dan marxis yang tidak lepas dari kritikan, deterrence, defense dan compellence juga tidak lepas dari kritikan. Misalnya munculnya logika kritis yang menganggap bahwa ketiga tersebut hanya memperburuk masalah keamanan internasional. Normatifnya, ketiga konsep tersebut memang diarahkan untuk mencapai keadaan damai dalam konsep Balance of Power namun faktanya ketiga konsep tersebut justru mengedepankan sisi teror mereka sehingga konsep balance of power mengalami pergesaran paradigma mejadi balance of teror. Kritik lainnya adalah cerminan dari kasus peluncuran rudal balistik oleh Amerika untuk men-deter lawan-lawan politisnya menghabiskan dana yang luar biasa banyak sehingga muncul kritik dari kaum ekonomis yang menyatakan bahwa dana militer tersebut akan lebih berguna jika dialokasikan untuk pembangunan domestic. Dalam kasus yang sama uga muncul pihak oposisi dari kebijakan pembangunan rudal balistik ini dari pihak pacinta lingkungan yang menyatakan bahwa nuklir yang terjandung dalam rudal tersebut akan membawa dampak buruk bagi lingkungan. Ketiga, oposisi datang dari pihak penekan dan kelompok kepentingan lain yang menatakan keberatan dengan pembatasan kebebasan masayarakat dan pembangunan kompleks-kompleks militer yang mengganggu masyarakat domestic.
Referensi :
Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,
Griffiths, Martin and O’Challagan Terry, International Relations The key Concepts, 2002
Kegley, C.W., dan Witkopf Eugene R. 1997. World Politics : Trend and Transformation. New York, S.A. Martin’s press
Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua. 2001. ILMU PENGETAHUAN: Sebuah Tinjauan Filosofis. Kanisius : 2001
Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace
Plano, Jack C. & Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Jakarta: Penerbit Putra A
Bardin.
http://home.att.net/~nickols/strategy_definition.htm diakses tanggal 20 April 2010 jam 02.30 WIB
http://sloanreview.mit.edu/smr/issue/2008/winter/21/ diakses tanggal 20 April 2010 jam 03.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar