Pages

Ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kebenaran yang harus kita tolak untuk mempercayainya (Jacques Derrida)...

Jumat, 24 Desember 2010

Gender dan Feminisme : You Can Not Ignore More Than 50% of World Population

Secara umum, kuantitas populasi wanita lebih besar jika dibandingkan dengan pria. Namun mengapa kaum pria justru mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan sentral? Pernyataan tersebut menjadi dasar dari lahirnya suatu paham tentang kesetaraan gender dalam konteks fungsi dan peran sosial yang disebut feminisme. Feminisme digagas oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet pada pertengahan tahun 1700an, yang kemudian diwujudkan dalam pertemuan ilmiah wanita pada tahun 1785 di Middleburg, kota selatan Belanda. Esensi dari fenimisme adalah unsure-unsur feminitas yang cenderung menjunjung tinggi kedamaian, cinta kasih dan kebersamaan. Pada awak terbentuknya, feminism merupakan suatu gerakan yang mengutamakan kesetaraan hak-hak berpolitik dan legal bagi kaum perempuan (Djelantik dalam Suryana, 2009). Transformasinya kini, feminisme cenderung meluas untuk memperjuangkan martabat dan hak-hak perempuan dari kungkungan sistem struktur yang cenderung subordinatif.
Dalam konteks Hubungan Internasional, adopsi feminisme menjadi suatu pandangan dalam kajian empiris dan praktisnya dimulai pada awal tahun 1900an yang ditandai dengan penerbitan suatu makalah ilmiah oleh London School of Economics yang berjudul Gender and International Relations. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa unsure unsure-unsur feminitas adalah menjunjung tinggi kedamaian, cinta kasih dan kebersamaan kemudian dijelaskan oleh Jean Jaquette sebagai hasil dari akses yang minim terhadap instrument-instrumen yang cenderung memakai kekerasan sehingga kecenderungan feminism adalah persuasive dengan cara koalisi. Asumsi dasar feminism adalah konsep kesetaraan peran dan fungsi sosial dalam gender serta penghilangan marginalitas, diskriminasi serta subordinasi terhadap wanita. Feminism sendiri secara konsep pemikiran dapat diklasifikasikan menjadi 4 dikotomi, Feminisme Liberal yang cenderung menjadikan industrialisasi dan kapitalisme sebagai alat mencapai emansipasi, Feminisme Marxis merupakan lawan dari feminism liberali dengan mengatakan bahwa penindasan perempuan berasal dari instrument ekonomi sosial dan politik yang berasaskan kapitalisme, yang ketiga adalah feminism radikal yang menempatkan locus konsentrasinny pada masalah reproduksi dan seksual dan yang terakhir adalah feminism Islam yang mencoba menggunakan kaidah –kaidah Islami dalam konteks kesetaraan gender (Djelantik dalam Suryana, 2009).
Dalam Hubungan Internasional, sebagaimana disiplin ilmu lainnya terdapat paradigma maskulinitas yang mengawal pembentukannya. Citra dari hubungan Internasional selama ini dibangun diatas fondasi structural dengan sensibilitas yang cenderung maskulin, sebagai contoh dalam penggunaan istilah negarawan, akhiran-wan merupakan indikasi adanya maskulinitas dalam citra Hubungan Internasional. Jika berbicara mengenai ranah Hubungan Internasional, maka tidak dapat lepas dari abstraksi-abstraksi politik karena esensinya Hubungan Internasional adalah hasil subordinasi politik dalam level analisis internasional. Berangkat dari asumsi tersebut, maka sebagai salah satu pandangan dalam Hubungan Internasional feminism juga mempunyai signifikansi dalam bidang politik, khususnya politik internasional. Politik internasional yang sejak lama diasumikan sebagai hal abstrak berbasis gender maskulin yang seringa diasosiasikan dengan kejantanan, ketegasan, keberanian, kekuasaan, kemandirian dan kekuataan fisik (Djelantik dalam Suryana, 2009). Feminisme menolak paradigma kaum realis yang menggambarkan negara sebagai entitas yang kompetitif, rasional, egois, dan mencari kekuasaan sehingga identik dengan citra maskulin. Berangkat dari narasi-narasi historisis, tindakan konkrit wanita dalam bidang politik dapat tercermin dalam beberapa hal, misalnya pemberian jabatan-jabatan setrategis dalam pelaksanaan kenegaraan dan alam lembaga pemerintahan. Hal ini merupakan suatu bukti nyata bahwa kontribusi feminisme secara dikehidupan umum dan dalam Hubungan Internasional secara khusus telah mampu setidak-tidaknya mengangkat derajat perempuan.
Berbicara mengenai kontraposisi feminisme dan realisme, maka konsentrasi pembicaraan adalah pada bagaimana feminisme mengkritisi bagaimana realism memandang actor yang mereka anggap actor utama yaitu actor negara dengan menggunakan kacamata dan sensibilitas maskulin. Feminism mengkritisi adanya sentralisasi kekuasaan politis kepada negara sebagai actor utama menurut pandangan realis. Dengan hadirnya fenimisme variasi actor Hubungan Internasional menjadi semakin bertambah. Lebih jauh lagi, dikotomi actor Hubungan Internasional tidak hanya dibagi menjadi negar dan non-negara saja, namun juga mempertimbangkan aspek gender dan signifikansinya dalam pengambilan keputusan, dan kebijakan dan pada ranah hubungan internasional dalam tataran praktis. Esensinya sejauh mana kontribusi, apresiasi dan ekspektasi terhadap pria dan wanita dalam konteks pengambilan keputusan. Jika berkaca kepada pendekatan teoritis realisme, bidang kajian studi Hubungan Internasional adalah tentang perang, perdagangan, pembentukan rejim dan pengembalian keputusan saat krisis maka image maskulin sangat kental terasa. Ditambah lagi actor dari Hubungan Internasional tradisional didominasi oleh laki-laki seperti pembuat kebijakan nasional dan militer, posisi tentara dan posisi dalam diplomasi sehingga menasbihkan Hubungan Internasional tradisional ala realis adalah “Hubungan maskulin global.” Selanjutnya dalam politik dan metodologi keilmuan terdapat indikasi yang mengarahkan interpretasi kearah maskulin seperti kekuasaan, otonomi dan rasionalitas objektif, padahal yang terjadi adalah Hubungan Internasional sebagai suatu hasil marjinalisasi dari ilmu sosial merupaka suatu subjek yang objek kajiannya adalah benda-benda dinamis berwujud manusia dan kompleksitasnya. Namun, sedikit sekali pandangan dari feminis yang mengemukakan gemer sebagai suatu kategori analisis, misalnya bagaimana perempuan dipengaruhi leh konstelasi politik global atau bagaimana posisi marjinal perempuan diakibatkan oleh bekerjanya sistem ekonomi global (Djelantik dalam Suryana, 2009).
Politik Internasional dalam prakteknya dipandang sebagai suatu keadaan dan lingkungan yang “keras dan berbahaya” bagi perempuan, karena kecenderunagn negara adalah prioritas keamanan nasional sebagai sesuatu yang tertinggi. Menurut Kenneth Waltz, dalam konteks ini negara sedang menjalankan perannya di bawah bayang-bayang kekerasan sehingga perang dapat pecah setiap waktu (Waltz dalam Suryana, 2009). Asosiasi laki-laki lebh kuat dengan aktivitas membela negara dan memepertahankan keamanan baik dalam bentuk sebagai tentara maupun diplomat. Di sisi lain wujud partisipasi perempuan dalam keamanan lebih kepada pihak subordinat yang menyediakan kebutuhan pokok bagi laki-laki yang ada di garis depan, seperti menjadi guru, perawat, pekerja sosial dan dalam pekerjaan lain yang sifatnya memberi kasih sayang. Namun sifat emosional perempuan ini bukan tidak ada gunanya. Emosi yang di identikkan dengan perempuan akan membawa efek psikologis dan menimbulkan signifikasnsi moral dalam politik sehingga dapat merubah citra politik yang selama ini di pandang sebagai suatu proses yang kotor.
Setelah membaca dan mencoba menjelaskan esensi feminisme dan kompleksitasnya, maka saya berpendapat bahwa feminisme merupakan suatu paham yang komprehensif dalam beberapa bidang dan pada tingkat-tingkat tertentu, misalnya dalam konteks menjembatani antara isu-isu kontemporer seperti lingkungan hidup yang secara umum tidak terakomodasi dengan baik jika ditangani oleh pria. Jika saya konstruksikan dengan wording yang saya konstruksikan sendiri, maka saya asumsikan bahwa feminism akan sangat luar biasa kontribusinya jika berada dalam level “feminisme frontal” dan bukan pada level “feminism radikal”, maksudnya adalah feminisme akan sangat bagus jika berani mengungkapkan dan memperjuangkan emansipasinya dengan cara-cara yang vocal, etis dan menjunjung tignggi asumsi kedamaian milik bersama, karena esensi perdamaian adalah bukan saja absennya perang tapi juga penghapusan hubungan sosial yang tidak adil dan tendensius termasuk hubungan gender yang tidak setara.



REFERENSI :
Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,
Burchill, Scott et al.2005.Theories of International Relations-Third Edition. New York: Palgrave Macmillian
Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar