Pages

Ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kebenaran yang harus kita tolak untuk mempercayainya (Jacques Derrida)...

Jumat, 24 Desember 2010

Realisme dan Neorealisme : Mainstream Konflik

Diawali dengan sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang Dunia I dan II, realisme muncul sebagai arus utama pendekatan hubungan internasional akibat ketidaksempurnaan pendekatan kaum idealis, terutama pembahasan tentang perang. Realism muncul sebagai kritik atas lemahnya pendekatan dari pemikir-pemikir idealis yang dinilai terlalu menitikberatkn rasionlitas individu dan menurunkan konsentrasi terhadap power (Sorensen, 2005). Pandangan realis menyebutkan bahwa tidak ada negara yang dapat mengatur seluruh konstelasi internasional atau dengan kata lain menjadi super power, yang ada hanya kompetisi dari berbagai negara untuk mrmperjuangkan national interest masing-masing. Dalam politik internasional tidaklah mungkin ada jalinan persahabatan, kepercayaan, dan kehormatan yang logikanya akan mengurangi power gain sebuah state (Suryana, 2009). Jadi, dalam pandangan realis hidup hanya soal bagaimana kompetisi yang menjadi fondasi fundamental kehidupan, tidak ada yang pasti dalam kehidupan karena kehidupan didasarkan pada proses kompetisi. Realis menekankan pada politik kendala yang dipaksakan oleh keegoisan manusia( 'egoisme') dan tidak adanya pemerintah internasional ( 'anarki'),yang membutuhkan 'keunggulan dalam semua kehidupan politik kekuasaan dan keamanan' (Gilpin dalam Scott Burchill & Andrew  Linklater, Theories of International Relations 1996 : 30). Manusia di analoagikan sebagai suatu makhluk yang selalu khawatir terhadap kelangsungan hidupnya dan khawatir terhadap perkembagan power individu lain yang di khawatirkan akan membahayakan eksistensinya. Lebih jauh lagi dapat diasumsikan bahwa perspektif realis menitikberatkan pada aspek keamanan dan pertahanan untuk mencapai national interest masing-masing negara. Dalam perspektif ini, kerjasama hanya dapat dicapai apabila terdapat vested interest antar pelaku kerjasama (Suryana, 2009).
            Dalam ruang lingkup internasional kehidupan konflik yang sedemikian kompetitif dalam pandangan realis merujuk pada satu penyelesaian akhir yaitu perang. Secara historis, pandangan realis ini menginspirasi pecahnya perang dingin yang terjadi setelah perang dunia kedua. Berada dalam situasi ketidakpastian seperti itu negara-negara mulai berpikir rasional dengan membentuk koalisi yang bersifat kelompok kepentingan. Ada negara yang memilih bergabung dalam sebuah sistem keamanan kolektif atau dalam bentuk integrasi kawasan namun tetap dalam tendensi untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya saja. Dalam masa dominasi realisme ini, konstelasi internasional lebih cenderung membentuk regionalisme karena kliasifikasi negara-negara lebih didasarkan pada terbentuknya kelompok-kelompok kepentingan (Sorensen, 2005). Dalam kaitan ini, Hobbes mengemukakan pendapatnya tentang sistem internasional yang terbentuk saat itu sebagai negara dan membandingkan antara hubungan internasional dan yang mempunyai “sikap perang” secara terus menerus. Hobbes berpendapat “bahwa pada semua zaman, raja-raja, orang-orang yang mempunyai otoritas tertinggi, disebabkan independensi mereka, berada dalam kecemburuan terus-menerus, dan dalam negara dan sikap gladiator-gladiator, yang mempunyai senjata-senjata mereka yang membidik, dan mata mereka tidak jujur satu sama lain; yakni benteng-benteng, garnisun-garnisun, dan senjata-senjata mereka di perbatasan-perbatasan kerajaan mereka; dan mata mereka diarahkan terus menerus pada tetangga-tetangga mereka”. Analogi Hobbes tersebut cukup menggambarkan betapa rentannya potensi konflik yang dapat dipicu oleh kebebasan memperjuangkan nasional interest mareka.  Jika berbicara tetang pandangan realis, maka tidak dapat dilepaskan dari dominasi negara yang secara legal institusional diakui oleh para realist sebagai main actor dalam hubungan internasional.
            Secara umum, konsepsi dasar realisme dapat di asumsikan menjadi beberapa poin penting, yaitu :  
1.      Negara selalu mempunyai kepentingan yang berbenturan.
2.      Perbedaan kepentingan akan menimbulkan perang atau konflik.
3.      Power yang dimiliki oleh suatu negara sangat mempengaruhi penyelesaian konflik dan menentukan pengaruhnya atas negara lain.
4.      Politik didefinisikan sebagai memperluas power, mempertahankan, dan menunjukan power.
5.      Setiap negara dianjurkan untuk membangun kekuatan, beraliansi dengan negara lain, dan memecah belah kekuatan negara lain (divide and rule).
6.      Perdamaian akan tercapai jika telah terwujud Balance of Power atau keseimbangan kekuatan jika yaitu keadaan ketika tidak ada sutu kekuatan yang mendominasi sistem internasional.
7.      Setiap negara akan selalu bergerak dan berbuat berdasarkan kepentingan nasionalnya. (www.kampus maya.com)
Dalam perkembangannya, masalah-masalah dalam Hubugan internasional juga mengalami perkembangan yang signifikan dan beranekaragam. Yang paling terasa adalah masalah-masalah yang muncul akibat dari globalisasi. Sebagai sebuh teori empiric yang bersifat historis, realisme mencoba memberi solusi terhadap masalah-masalah actual yang terjadi. Namun, selayaknya sebuah teori, realisme juga mempunyai beberapa titik lemah. Yang paling menonjol adalah realisme gagal menjelaskan  mengapa berbagai negara yang berbeda atau bahkan bertentangan, misalnya, secara ideologis ataupun politik, tetap berperilaku sama. Mengapa Uni Soviet yang komunis dan Amerika yang liberal kapitalis sama-sama teribat dalam kompetisi merebut kekuasaan, membangun kekuatan militer, atau mengembangkan pengaruh?(Waltz, 1979) .Menurut Waltz, “kegagalan realisme menjelaskan kesamaan perilaku berasal dari metodologi yang digunakannya, yakni metodologi behaviouris. Metodologi ini terlalu mengabaikan aspek faktor penting yang menjadi batas-batas kebijakan luar negeri atau perilaku negara. Aspek penting yang menjadikan perilaku negara homogin, dalam pemikiran Waltz, terletak pada kekuatan sistemik, yakni struktur internasional”.
Secara metodologis, pemikiran Waltz berbeda dengan metodologi behaviouris dalam artian bahwa mereka memberi penekanan pada peringkat analisa yang berbeda: unit dan struktur. Metodologi behaviouris berusaha menjelaskan produk politik (perilaku atau kebijakan negara) dengan jalan mengamati unit-unit atau bagian-bagian yang membentuk sistem. Dengan cara ini, semua yang terjadi dalam politik internasional dijelaskan dengan melihat perilaku dan hubungan antar unit dalam politik internasional (negara), yakni perilaku dan interaksi yang didasari oleh tuntutan alami yang dimiliki oleh negara (prinsip-prinsip hakekat manusia) untuk berperilaku sesuai dengan kepentingannya (self-interested), yang dalam prakteknya didefinisikan dengan kekuasaan.
Neorealisme ala Waltz ini pada dasarnya mempunyai perbedaan pada asumsi dasar mengenai pemahaman sifat dasar manusianya, dalam konsep neorealis Neorealisme ini lebih memfokuskan pada struktur internasional yang dapat mengcover masalah internasional. Struktur itu sendiri memberikan batasan-batasan para pemimpin negara dalam menentukan arah kebijakannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa neorealisme yang diusung oleh Waltz lebih membahas tentang hambatan-hambatan struktural kebijakan luar negeri (Waltz, 1979).
Jadi, perbedaan signifikan yang terdapat dalam konsep realism dan neorealisme hanya dalam pemahaman terhadap sifat dasar manusianya. Jika prespektif realis lebih cenderung menganggap bahwa manusia adalah gladiator-gladiator yang selalu saling bunuh atau saling menghancurkan untuk mencapai tujuannya. Lebih jauh lagi ini juga berlaku bagi negara sebagai actor utama realisme tapi tentu dalam skala yang lebih luas. Sedikit berbeda dengan realism, neorealisme justru menganggap bahwa setiap manusia khusunya kepala negara mempunyai suatu batasan-batasan yang secara otomatis akan di laksanakan dalam upaya pencapaian kepentingan nasional dari negaranya, dan bukan merupakan manusia yang selalu khawatir akan eksisitensinya. Hal inilah yang menjadi perbedaan antara realism dan neorealisme dalm tataran konsep.

Source :
Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,
 Burchill, Scott & Linklater, Andrew,  Theories of International Relations, 1996
 Griffiths, Martin and O’Challagan Terry, International Relations The key Concepts, 2002
Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar