Pages

Ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kebenaran yang harus kita tolak untuk mempercayainya (Jacques Derrida)...

Minggu, 26 Desember 2010

FENOMENA MUDIK, KEMBALI KE AKAR BUDAYA

Negara Indonesia adalah negara yang penuh keanekaragaman dalam sosial budaya. Namun terlepas dari itu, masyarakat kita juga mempunyai ikatan yang kuat terhadap kultur budaya asal mereka. Salah satu contoh nyata adalah migrasi besar-besaran yang terjadi pada saat momen-momen tertentu seperti lebaran yang lazim kita sebut budaya mudik. Banyak sudut pandang dalam mendeskripsikan mudik. Mudik secara harfiah dapat diartikan sebagai gerakan para perantau kembali ke kampung halamannya dalam momen momen tertantu misalnya liburan. Namun Di Indonesia, istilah mudik ini di spesialisasikan menjadi tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya keagamaan misalnya menjelang lebaran, momen ini juga di manfaatkan untuk berkumpul dengan sanak saudara dan tentu saja sowan kepada orang tua (www.wikipedia.com, 26-09-2009). Namun secara sederhana dapat di simpulkan bahwa mudik adalah suatu proses untuk mengikatkan diri kita kembali kepada akar budaya yang membentuk kita menjadi pribadi sedemikian rupa ini. Satu contoh, kita dari daerah merantau menjadi mahasiswa Hubungan Internasioanal FISIP Unair, ketika di rantau kita tetap saja bukan siapa-siapa, namun saat kembali ke kampung halaman kita bisa merasakan dan menghayati bagaimana esensi menjadi seorang anggota keluarga.
Budaya mudik dewasa ini telah menjadi suatu fenomena sosial tahunan yang melanda hampir seluruh elemen masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat yang mampu untuk mudik memilih menghabiskan waktu lebaran di kampung halaman bersama keluarga. Faktanya, migrasi besar-besaran ini selalu mendatangkan masalah tiap tahunnya, baik dari segi transportasi, akomodasi, sosial maupun kriminalitas. Bayangkan berapa banyak armada transportasi yang dibutuhkan untuk mengakomodasi seluruh pemudik yang menggunakan transportasi umum yang luar biasa jumlahnya itu? Jumlah penduduk Indonesia sekitar 200juta, bayangkan saja jika seperlima dari jumlah tersebut memilih mudik dengan menggunakan angkutan umum., berapa banyak armada kapal laut, bus, kereta api dan pesawat terbang yang harus disiapkan guna mengakomodasi proses mudik mereka. Dari segi sosial budaya, fenomena mudik ini bukan tanpa efek samping. Tanpa disadari para prantau yang datang dari kota telah menjadi duta kota untuk desa dalam tataran agen perubahan sosial. Perlahan lahan mereka mulai memperkenalkan instrument kehidupan mereka di kota. Contoh sederhana adalah membuminya ponsel di kalangan masyarakat desa. Proses sosialisasi instrument ini secara tidak langsung adalah melalui masyarakat kota yang menggunakan ponsel ini ditengah masyarakat desa. Perlahan lahan mereka mulai menyadari pentingnya komunikasi yang cepat dan tepat, akhirnya mulai mengintegrasi instrument tersebut ke dalam nilai sosial mereka. Konsekuensi dari timbulnya berbagai masalah dalam proses mudik tersebut adalah kriminalitas. Banyaknya peluang untuk berbuat tidak bermoral atau sejenisnya,. Salah satu faktornya adalah keterbatasan ekonomi, contoh paling nyata adalah kebutuhan ekonomi untuk keperluan mudik dan berlebaran.
Sebenarnya, jika kita mau memaknai lebih dalam, mudik dapat diartikan sebagai proses pembelajaran. Proses pembelajaran dari masyarakat desa ke kota dan dari masyarakat kota ke desa, atau dengan kata lain pembelajaran dua arah. Namun faktanya, terjadi suatu ironi disini, proses pembelajaran yang esensinyanya berlangsung dua arah tereksodus menjadi dominasi duta kota terhadap masyarakat desa baik dari segi ekonomi, sosial maupun budaya. Dominasi masyarakat kota tampak pada instrrumen-instrumen kehidupan mereka yang telah terintegrasi kedalam unsur budaya universal mereka. Penanaman nilai nilai dan norma kota yang cenderung individual terhadap masyarakat desa tanpa disadari sering kali membawa dampak kurang positif terhadap stabilitas sosial budaya desa yang menjunjung tinggi rasa solidaritas, gotong royong dan kekeluargaan. Namun secara  sepihak, masyarakat kota yang mudik ke desa kurang memperhatikan sisi positif budaya pedesaaan dan cenderung tidak mau belajar dan bersosialisasi dengan sisi positif pedesaaan dalam ruang lingkup kebudayaan universal. Pertanyaan utamanya adalah bagaimana proses pembelajaran yang seharusnya demokratis ini malah bertrnsformasi menjadi pembelajaran substansial yang menitikberatkan dominasi salah satu actor interaksi. Sebenarnya sederhana jika di pandang dari sudut interpretasi majemuk kontemporer, masalah-masalah seperti ini adalah subsansi endemic dari aspek-aspek kontemplatif sosio cultural yang eksistensinya musiman.



Masalah-masalah sosial seperti ini sering luput dari pandangan kita dalam melihat fenomena mudik ini. Konsentrasi kita sering kali terpusat pada fenomena dan masalah fisik saja, namun sering kali kurang memperhatikan aspek aspek kultural dan sosilogisnya. Banyak dari kita memaknai mudik hanya sebagai tradisi pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga kita yang ada di udik. Namun jika kita mau memaknai secara mendalam, tradisi mudik mengandung banyak pelajaran hidup, karena dengan mudik dari perantauan dan berkumpul dengan saudara, kita dapat memaknai kembali jati diri kita sebagai anggota keluarga. Mudik juga merupakan momen yang tepat untuk kembali mengikatkan diri kita kepada inang budaya yang membentuk pribadi kita menjadi seperti sekarang ini. Jadi, fenomena mudik ini bukan semata mengandung masalah secara fisik saja, namun lebih jauh lagi menyentuh aspek sosio kultural secara univesal.
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar