Pages

Ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kebenaran yang harus kita tolak untuk mempercayainya (Jacques Derrida)...

Jumat, 24 Desember 2010

Liberalisme dan Neoliberalisme : Subordinative Cooperation

Hubungan internasional sebagai suatu studi interdisipliner dan sebagai suatu fenomena mempunyai beberapa teori yang mendasarinya. Jika diibaratkan realisme adalah dasar teori yang menjadi mainstream bagi Hubungan Internasional, maka yang akan kita bahas selanjutnya yaitu liberalisme adalah pihak oposisinya. Stanley Hoffman menuliskan, “Esensi dari liberalisme adalah self-restrain, moderasi, kompromi, dan perdamaian, dimana esensi politik internasional adalah berkebalikan: perdamaian yang selalu terusik, atau lebih buruk lagi, state of war” (Hoffman 1987). Jadi, secara definisi kita dapat mengambil kesimpulan logis bahwa konsentrasi dari liberalisme berkebalikan realisme, jika realisme menganggap state sebagai actor utama dalam Hubungan Intenasiaonal maka liberalism mengkonsentrasikan pada kebebasan individual. Dalam liberalisme, individu ditambah berbagai macam kolektifitas individu menjadi focus analisis : pertama dan yang paling utama negara, tetapi juga perusahaan organisasi, dan asosiasi dari semua jenisnya (Sorensen, 2005). Yang perlu dicermati dari pendapat Sorensen tersebut adalah pada poin “individu ditambah berbagai macam kolektifitas individu menjadi focus analisis.” Asumsi yang dapat di ambil adalah bahwa individu dapat menggunakan apa yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Dalam pandangan liberalis, individu-individu telah dilengapi dengan berbagai alat-alat untuk bertahan hidup baik itu dari segi fisik misalnya mempunyai anggota tubuh yang lengkap dan dari segi psikis misalnya mempunyai akal pikiran rational. Dalam pandangan liberalis, setiap individu mempunyai kebebasan sebebas-bebasnya untuk mengembangkan potensinya. Liberalisme berkomitmen pada rational harnessing yang bersifat alamiah untuk mencari suatu kebebasan secara individual, hal ini kembali lagi ke poin awal bahwa manusia dalam pandangan liberal mempunyai otoritas dalam mengembangkan potensinya dengan menggunakan berbagai macam cara dengan memanfaatkan setiap potensi yang dimilikinya.
Berdasarkan konsepsi liberalism yang dikondisikan dalam tataran individual, maka jika berbicara liberalisme dalam lingkup state akan semakin kompleks bahasannya. Beranjak dari teori liberal individual yang mengasumsikan adanya kebebasan individu, maka jika di bawa ke ranah yang lebih luas maka liberalisme dapat di asumsikan sebagai suatu grand theory yang menjunung tinggi kebebasan Individu dan berharap akan terjadi suatu kerjasama yang solid dalam pengembangan kebebasan tersebut sehingga terbentuk stabilitas perdamaian. Aktor yang paling dominan dalam teori liberalisme ini adalah state dan non-state. Hal ini dikarenakan teori liberalisme menganggap individu sebagai aktor non-state bisa berusaha untuk memakmurkan dirinya sendiri. Sedangkan negara bertindak sebagai pengawas dan pembuat aturan-aturan untuk semua tindakanyang dilakukan oleh individu agar tidak terjadi suatu penyelewengan. Dengan kata lain negara adalah regulator yang menjaga jalur kebebasan individu tetap dalam trek yang sudah dirumuskan dan juga berfungsi untuk meminimalisasi adanya gesekan antar aplikasi kebebasan individu tersebut.
Dasar dari liberalis sebenarnya dalah keyakinan terhadap kemajuan (Sorensen, 2005). Kaum liberalis yakin bahwa manusia pada dasarnya mempunyai kecenderungan untuk berkerja sama secara kooperatif dan kolaboratif yang lebih besar daripada kecenderungan untuk hidup dalam konflik dan berperang. DAlam pandangan liberlais, manusia akan menggunakan akal pikirannya untuk mengakiri perang dengan cara kerjasama.
Ada klaim bahwa awal munculnya neoliberalisme dilatar-belakangi oleh hancurnya “liberalisme, padahal bisa jadi hal ini hanya salah satu faktor saja. Liberalisme dianggap gagal karena ternyata belum juga berhasil mengentaskan kemiskinan umat manusia. Seiring dengan hancurnya liberalisme, pada tahun 1973 terjadi krisis minyak: mayoritas negara penghasil minyak Timur Tengah (TT) melakukan embargo terhadap As dan sekutunya; serta melipat-gandakan harga minyak dunia. Hal ini dilakukan oleh TT sebagai bukti “reaksi” mereka terhadap AS yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur. Keputusan TT ini ditanggapi serius oleh para elit politik negara-negara sekutu AS dan mereka pun saling berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana menjadi dominan, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga ditingkat global di IMF dan World Bank (WB), dan WTO Pada tahun 1975-80an, di AS, Robert Nozick mengeluarkan tulisan berjudul “Anarchy, State, and Utopia”, yang dengan cerdas menyatakan kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah: REAGANOMICS; dan di Inggris, Keith Joseph menjadi penggagas “Thatcherisme” Reaganomics atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan yang dikaitkan dengan pemikiran John Locke, sedangkan Thatcherisme dikaitkan dengan pemikiran liberal John S. Mill dan A. Smith. Walaupun Locke dan Mill serta Smith sedikit berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya tetap bermuara pada: intervensi negara harus berkurang sehingga individu lebih bebas berusaha. Pemahaman inilah yang kemudian di sebut: NEOLIBERALISME (Suryana, 2009).
Paham neliberalisme lebih mengacu pada aspek ekonomi politik yang menganggap tidak perlu adanya cmpur tangan pemerintah dalam proses ekonomi lokal. Pada noeliberalisme, konsentrasi kajiannya adalah bagaimana mewujudkan konstelasi internasional sebagai suatu wadah perdagangan bebas yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Fokus dari neoliberal dalam konteks kebijakan luar negeri adalah bagaimana membuka pasar bebas dalam skala internasional dengan menggunakan pendekatan-pendekatan politis. Poin-poin yang harus di perhatikan dalam neoliberalisme adalah para neoliberalis selalu menerapkan system mekanisme pasar dalam pandangan-pandangan mereka. Artinya ketika kebebasan individu dilnggarkan batasannya maka yang terjadi adalah suatu kondisi persaingan atau mungkin juga kerjasama antar individu dan kompleksitasnya tanpa adanya campur tangan pemerintah. Neoliberalis juga menekankan pemotongan anggaran alokasi perawatan saran dan prasaran publik Hal ini dikarenakan pandangan neoliberalis adalah bahwa masyarakat sudah dewasa dan mampu untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.
Jadi, liberalisme dan neoliberalisme mempunyai beberapa perbedaan dalam hal pandangan dasar. Jika liberalisme menganggap bahwa indiidau adalah actor utama dari liberalisme, maka neoliberalis meluaskan pandanagannya menjadi individu dan kompleksitasnya sebagai actor liberalisme. Lebih jauh lagi, liberalisme masih mengakui adanya campur tangan pemerintah seperti yang dikatakan Adam Smith, namun lebih ekstrem lagi neoliberalis tidak mengakui atau bahkan menolak adlnya campur tangan pemerintah karena semua urusan dalam neliberalisme diserahkan kepada mekanisme pasar.

REFERENSI :


Burchill, Scott & Linklater, Andrew, Theories of International Relations, 1996


Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,

Griffiths, Martin and O’Challagan Terry, International Relations The key Concepts, 2002

Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar