Pages

Ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kebenaran yang harus kita tolak untuk mempercayainya (Jacques Derrida)...

Jumat, 24 Desember 2010

Postmodernisme dalam Hubungan Internasional : Eksplanasi, Transformasi, Kritisi, Prediksi


Selama ini studi dan teori Hubungan Internasional mengklaim dirinya objektif, bebas nilai, netral dan ilmiah, namun nyatanya dalam menghasilkan karyanya,  para teoritisi hubungan Internasional sebagian besar ditentukan oleh tempat tinggal mereka, yakni konstelasi politik internasional dan ruang imajinatif mereka sehingga apa yang mereka kerjakan adalah penyebaran kekuasaannya melalui penanaman distribusi, pembatasan, pengontrolan terhadap ruang imajinasi pembaca karya mereka. Jika diruntut dari genealogi atau dengan kata lain narasi historisisnya dalam sudut pandang postmodernis, maka Hubungan Internasional sebagai suatu studi lahir di Wales, Inggris (1991) dan para pengarang atau teoritisinya tidak menempati ruang hampa imajinatif dalam menjelaskan politik internasional namun mendapat tempat diruang baca Eropa khususnya dan Dunia Barat umumnya (Maliki dalam Suryana, 2009). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hubungan Internasional yang kita pelajari selama ini adalah interpretasi dari pemikiran dunia barat jika di runtut dari asal muasal narasi historisisnya. Analisis di atas adalah suatu studi kasus yang menggunakan prinsip genealogi dalam menganalisis suatu fenomena. Genealogi dalam studi Hubungan Internasional modern mengonsentrasikan diri dalam hal penolakan terhadap pemberlakuan teori yang sifatnya universal (dapat berlaku kapan dan dimana saja) atau teori kepastian dalam membaca fenomena politik internasional secara terus menerus. Menurut Shapiro, genealogi menunjukkan asumsi penjelasan bahwa pengetahuan seperti Hubungan Internasional dari segi pandang realis, liberalis dan marxis adalah perjuangan war of all against all yang menghasilkan formasi diskursif pengetahuan yang lain sebagai pemenangnya (Shapiro dalam Suryana, 2009). Genealogi postmodernis dalam Hubungan Internasional esensinya adalah korelasi antara klaim ilmu pengetahuan dan kliam power serta otoritas yang kecenderungannya adalah nilai-nilai dari neorealisme. Jika menggunakan metode genealogi, maka dapat disimpulkan bahwa neorealisme merupakan transformasi dari realism yang mendapat kontaminasi nuansa strukturalisme sehingga melahirkan pandangan baru yaitu neorealisme.
Pengetahuan adalah kuasa, dalam aspek epistemologis Hubungan Internasional pengetahuan mempunya kekuasaan untuk mendefinisikan, menentukan, menaklukkan kebaikan, kendali pemikiran, kelembutan jiwa dan kebenaran ontology politik internasional melalui suatu diskursus teori-teori tekstual maupun teori-teori yang sifatnya intertekstual. Menurut Der Derian, teorisasi intertekstual jelas-jelas bukan merupakan suatu proses verifikasi saintifik, bukan juga merupakan anti-saintifik. Pendekatan intertekstualitas mengambil langkah dan memposisikan dirinya pada srategi self-concious, yakni menjauhkan diri dari cara-cara formal yang dominan dan kecenderungannya ahistoris dalah Hubungan Internasional (Der Derian dalam Suryana, 2009). Menurut saya, Hubungan Internasional yang kita pelajari selama ini lebih menonjolkan aspek teoritis yang rumit dak kompleks namun menarik dari segi teoritis namun mempunyai kecenderungan lemah dalam model aplikasi realitas maupun hiper-realitasnya. Jadi, para teoritisi Hubungan Internasional nampaknya terjebak dalam stagnasi dan imajinasi teoritis mereka dalam memahami dan memaknai konstelasi Hubungan Internasional sebagai suatu fenomena dan ilmu yang interdisipliner dari pada memahami realitas dalam Hubungan Internasional yang ada. Der Derian mengilustrasikan bahwa Hubungan Internasional dimulai denga kehadiran revolusi dan jejak kaki atau footnote (Der Derian dalam Suryana, 2009). Der Derian melacak konsep internasional yang disinyalir lahir dari teks aslinya dalam bahasa Inggris international yang oertam kali dipekenalkan oleh seorang schoolar liberalis, Jeremy Bentham, Principles of Morals and Legislation. Lebih jauh lagi, Der Derian membahas bahwa metode interteksualistas dari wording hubungan internasional sendiri amat susah dicari narasi historisnya sebagai suatu kesatuan bahasa yang utuh, yaokni Hubungan  dan Internasional.  Jadi, Hubungan Internasional yang kita pelajari sekarang merupakan footnote atau jejak kaki dari yang berasal dari akar jejak kaki-jejak kaki sumber induk aslinya pun dipertanyakan kembali, karena ketika dilakukan pelacakan terhadap asalah kata Hubungan Internasional sendiri malah ditemukan beragam makna yang dinilai valid dan bukan menghasilkan suatu konsep tunggal yang esensial dari makan Hubungan Internasional sendiri.
            Bertolak dari esensi awalnya sebagai ilmu sosial yang esensisal, maka postmodernis secara umum dapat dikatakan sebagai suatu abstraksi yang kontras terhadap bentuk-bentuk nominalisasi ilmu-ilmu sosial atau lebih dikenal dengan paham positivism. Sebagai anti positivis, konsep teori postmodernisme cenderung mendobrak dominasi mainstream yang umunya bercorak positivis dengan mengatakan bahwa ilmu sosial bukanlah sesuatu yang bisa disebut ilmu. Alasannya adalah karena fenomena sosial adalah sesuatu yang abstrak dan tidak dapat dibawa keranah-ranah nominal positivis karena sangat berhubungan dengan pemikiran-pemikiran subyektif dari manusia dan kompleksitasnya. Mungkin dalam beberapa sistematika teknik penelitian dapat mengadopsi teknik-teknik saintifik dan dengan standart ilmiah, namun tetap tidak dapt mengkonversikan gagasan-gagasan yang didapat dari fenomena sosial untuk kemudian diterjemahkan kedalam metode positivis murni. Maka dari itu, asumsi dari anti-positivis adalah konseptualisasi manusia adalah makhluk yang subyektif dan dinamis, sehingga tidak mungkin dikekang dalam pola-pola positivis yang obyektif dan statis.
            Beralih kebahasan postmodernis dalam model lain, yakni diplomasi menegaskan bahwa pandangn-pandangan postmodernis layak untuk menjadi teori yang digunakan dalam melihat dan memaknai realitas Hubungan Internasional. Hal ini terbukti dengan ketepatan prediksi dan analisis postmodernis terhadap pola diplomasi dan militer saat ini. Diplomasi dengan segala kompleksitasnya sebagaimana prediksi postmodernis mulai mendapat kontaminasi dari berbagai sindrom simulasi teknologi. Sebagai contoh, dahulu seorang actor hanya akan berdiplomasi jika mengenai hal-hal yang menyangkut power dan perang dalam arti engagement war ala Clausewitz, namun sekarang sebab diplomasi dapat menyerupai berbagai aspek, misalnya kepemilikan nuklir. Selain itu, bentuk diplomasi juga tidak ;lagi konvensional seperti adanya pertemuan secara langsung antar pihak-pihak yang berdiplomasi, sekarang dengan adanya media maka diplomasi dapat dilakuakn tanpa adanya masalah-masalah parsial dan spasial.
            Beralih ke pokok substansi esensial dari postmodernis yang terakhir adalah ontologis postmodernis. Esensinya, ontologi dalam postmodernisme adalah sejauh mana objek kritik mempunyai potensi untuk dikritik dari berbagai sisi dan sudut pandang postmodernis. Jadi, esensi ontologis dari postmodernis adalah kritikan terhadap mainstream dan positivis yang tanpa henti dan tidak mengenal kata berakhir. Mereka beranggapan bahwa jika postmodernis telah sampai pada titik yang disebut akhir, maka mereka akan flashback dan kebali kepemikiran-pemikiran jaman modernis yang mereka kritisi sendiri. Jadi, dapat diasumsikan untuk “mempertahankan hidupnya” postmodernis harus terus menghasilkan kritikan-kritikan yang baru untuk mempertahankan eksistensinya kembali ke jaman modernis.



REFERENSI:
Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,
Burchill, Scott et al.2005.Theories of International Relations-Third Edition. New York:  Palgrave Macmillian
http://www.newadvent.org/cathen/11257a.htm diakses tanggal 08 Juni 2010 pukul 22.00
www. Clausewitz.com diakses tanggal 08 Juni 2010 pukul 23.00


                          

1 komentar: