Pages

Ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kebenaran yang harus kita tolak untuk mempercayainya (Jacques Derrida)...

Jumat, 24 Desember 2010

Konstruktivisme : Ontologi dan Variasi

Hubungan Internasional sebagai suatu subyek yang interdisipliner mempunyai kecenderungan berdiri diatas berbagai fondasi keilmuaan yang beranekaragam. Sebagai substansi dari ilmu sosial, maka Hubungan Internasional mendapat banyak sumbangan pemikiran-pemikiran dari pemikir ilmu sosial secara umum. Berbagai teori-teori sosial yang beresensi interaksi manusia dan kompleksitasnya kemudian dibawa ke ranah-ranah yang ebih global dan dimodifikasi sedemikian hingga dengan menggunakan level analisis hubungan internasional. Salah satu teori yang cukup komprehensif untuk jaman global seperti sekarang ini adalah Konstruktivisme. Konstruktivisme dalam level analisis hubungan internasional mulai berkembang di Amerika sejak berakhirnya perang dingin sebagai reaksi atas kegagalan mainstream Hubungan Internasional (realism-liberalisme) dalam menjelaskan, memahami dan memprediksi transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis (Poerbasari dalam Suryana, 2009).
Secara ontologis konstruktivis berdiri di atas tiga pilar utama, yang pertama adalah struktur sebagai pembentuk perilaku aktor sosial dan politik, baik individual maupun negara, tidak hanya terdiri memiliki aspek material, tetapi juga normatif dan ideasional (Adler dalam Suryana, 2009). Jika dibandingkan dengan realis dan marxis yang memandang bahwa kekuataan material hanyalah militer dan ekonomi kapitalis, konstruktivis menyatakan bahwa sistem nilai, norma, keyakinan dan ideasional kolektif juga memiliki karakteristik struktural dan menentukan tindakan sosial maupun politik dalam prakteknya. Sumber-sumber material sebenarnya hanya bermakna bagi tindakan atau perilaku melalui struktur nilai atau pengetahuan bersama. Disamping itu, struktur normatif dan ideasionallah yang sebenarnya membentuk identitas sosial aktor-aktor politik.
Pilar ontologis kedua adalah identitas sebagai pembentuk kepentingan dan tindakan. Berbaeda dengan proporsi realis dan marxis yang mengonsentrasikan diri kepada cara-cara aktor-aktor politik khusunya Hubungan Internasional mencapai tujuan mereka, konstruktivisme menekankan kepada sebab sumber-sumber munculnya kepentingan dari aktor-aktor politik. Jika dikaitkan kedua ontologi ini, maka dapat ditarik kesimpulan asumtif ontologi kedua ini terkait dengan dasar ontologis yang pertama yaitu identitas menentukan pembentukan kepentingan. Identitas adalah sesuatu yang mengarahkan pembentukan kepentingan dari aktor-aktor politik. Audrey Klotz memberikan contoh, dalam kasus Apartheid di Afrika Selatan pengembengan sanksi-sanksi internasional tidak dapat dijelaskan tanpa merujuk pada kepentingan-kepentingan negara-negara maju, khususnya Amerika, dimaknai kembali pada tahun 1980an (Klotz dalam Suryana, 2009). Proporsi ontologis ketiga adalah bahwa agen dan struktur diciptakan setara. Esensinya, konstruktivis adalah strukturasionis yakni menekankan peran struktur non-material terhadap identitas dan kepentingan dan pada saat yang bersamaan menekankan peran praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. Artinya, meskipun sangat menentukan identitas (dan oleh karenanya juga kepentingan) aktor-aktor politik, struktur ideasional atau normatif tidak akan muncul tanpa adanya tindakan-tindakan aktor-aktor politik (Poerbasari dalam Suryana, 2009).
Walaupun didasarkan dari tingkat ontologis yang sama, namun konstruktivisme berkembang melalui tiga varian pemikiran yang berbeda: sistemik, level unit dan holistik. Konstruktivisme sistemik dengan tokohnya Alexander Wendt menekankan kepada interaksi antar negara sebagai aktor tunggal dan mengabaikan kompleksitas proses pembentuk interaksi didalam negara tersebut. Hal ini hampir sama dengan pandangan neorealis, yang juga menganggap negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Lebih jauh lagi, keduanya (neorealisme dan konstruktivisme) juga menganggap anarki adalah keadaan yang penting dalam politik internasional, namun bedanya konstruktivis melihat anarki adalah suatu hasil produksi dari pola interaksi antar negara bukan seperti neorealis yang melihat anarki sebagai suatu pola interaksi antar negara. Varian keduanya adalah mencoba melihat dan memaknai adanya pengaruh norma-norma sosial ditingkat domestik bagi identitas dan kepentingan negara. Sebagai contoh, Peter Katzenstein mencoba menganalisis bagaimana kedua sebagai negara yang kalah perang, mengalami pendudukan asing dan berubah dari otoritarian menuju demokrasi, memiliki kebijakan-kebijakan pertahanan internal dan external yang sangat berbeda. Menurut Katzenstein, perbedaan ini mencerminkan institusionalisasi norma-norma sosial dan legal yang berbeda di tingkat nasional kedua negara tersebut. Pengambilan keputusan dalam bidang – bidang vital mendapat intervensi dari nilai dan norma yang diinternalisasi dari pihak yang mengalahkan mereka. Sekalipun tidak mengabaikan peran norma internasional dalam membentuk identitas dan kepentingan negara, penekanan yang berlebihan pada aspek domestik menempatkan konstruktivisme (dalam varian ini) pada posisi yang sulit untuk menjelaskan munculnya kesamaan-kesamaan antar negara ataupun adanya pola-pola konvergensi idetitas dan kepentingan negara-negara yang berbeda (Katzenstein dalam Suryana, 2009).
Varian konstruktivisme terakhir adalah konstruktivisme holistik yang mencoba berpikir menyeluruh dari dua sisi dan mencoba mengakomodasi dua perpektif konstruktivis yang berbeda diatas dengan memaknai aspek domestik dan internasional sebagai dua hal yang berbeda sebagai hasil dari aspek sosial politik yang sama. Konstruktivis holistik berusaha menjelaskan dinamika perubahan global  terutama dalam kaitannya dnegan muncul dan hancurnya negara berdaulat  melalui hubungan timbal balik antara negara dan tatanan global tersebut. Hubungan ini ditunjukkan dengan dua cara yang berbeda. John Gerard Ruggie, misalnya, berusaha menjelaskan perubahan dalam politik internasional akibat munculnya negara berdaulat dari puing-puing feodalisme Eropa dengan menekankan pada pentingnya perubahan dalam episteme sosial atau kerangka pengetahuan (1986, 1993). Cara yang kedua diwakili oleh karya Friedrich Kratochwil mengenai berakhirnya Perang Dingin, dengan menekankan pada perubahan dalam gagasan mengenai tatanan dan keamanan internasional. Karena besarnya perhatian terhadap transformasi-transformasi yang bersifat global dan besar, varian konstruktivisme cenderung bersifat strukturalis dan mengabaikan aspek agency sebagai salah satu preposisi ontologis konstruktivisme. Dalam artian ini, gagasan, norma maupun budaya dipahami memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah transformasi, tetapi terlepas dari keinginan, pilihan ataupun tindakan manusia (Suryana, 2009).
Konstruktivisme dan teori kritis mempunyai benang merah yakni berangkat dari tradisi kritis yang sama sehingga mempunyai kesamaan pandangan yang menolak posisi ontologis neoliberalis dan neorealis neoliberal dan neorealis yang menggambarkan manusia secara rasionalis, yakni sebagai aktor-aktor yang atomistis dan egois sedangkan masyarakat hanyalah sebagai arena strategis semata-mata. Sebaliknya konstruktivis melihat manusia dari sisi yang lain yakni sebagai makhluk sosial, terbentuk melalui komunikasi dan kultur. Disamping itu, konstruktivisme dan teori kritis menggunakan metodologi yang sama: menolak positivisme dan lebih menekankan pada metodologi interpretif, diskursif dan historis (Suryana, 2009). Namun, keterkaitan keduanya (konsruktivisme dan teori kritis) tidak sejala dalan semua hal, teori kritis juga mengkritisi persepsi konstruktivis yang mengabaikan aspek power dalam mamahami nilai dan melihat nilai sebagai sesuatu yang bias dan netral. Jadi, menurut pemikir teori kritis, kaum konstruktivis telah kehilangan suatu tujuan esensial dari pemikiran kritis yaitu emansipasi (Poerbasari dalam Suryana, 2009).
Jadi, sekalipun memahami realitas bukan sebagai sesuatu yang baku, alamiah dan abadi melainkan sebagai produk dari interaksi dan selalu dinamis dan hampir tidak bisa diprediksi, konstruktivisme tidak memaknai interaksi antar nilai ini sebagai sebuah proses politik yang sangat berpengaruh pada aspek keadilan, kesederajatan dan kebebasan.
REFERENSI :
Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,
Burchill, Scott & Andrew Linklater, , Theories of International Relations, 1996
Griffiths, Martin and O’Challagan Terry, International Relations The key Concepts, 2002
Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar