Pages

Ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kebenaran yang harus kita tolak untuk mempercayainya (Jacques Derrida)...

Jumat, 24 Desember 2010

Neorealis VS Neoliberalis : Strukturalis

Mengamati jatuh bangunnya teori-teori besar dikritik, disanggah, direvisi, dikritik lagi, dan seterusnya, beberapa orang berpikir bahwa seolah-olah kebenaran itu sebuah permainan para ilmuwan, yang saat ini dinyatakan benar, bulan depan dinyatakan salah. Tidak ada kebenaran yang sifatnya tetap. Namun, layaknya para ilmuwan, mereka yang berpikir tadi masih mendambakan suatu ‘kebenaran’. Akhirnya mereka mencoba mengkompromikan pemikirannya, dan dihasilkanlah gagasan: kebenaran adalah konstruksi subyektif, dan bukan temuan obyektif. Ilmuwan sebenarnya mengkonstruksi realitas lewat teorinya. Ia memberi makna pada realitas yang ia ketahui. Hanya, ia menahbiskan temuannya sebagai suatu temuan yang obyektif. Dengan kata lain, subyektifitasnya menjadi dasar bagi temuan yang ia sebut-sebut obyektif (Keraf, 2001). Begitu juga dalam konteks hubungan internasional yang kita kaji sebagai disiplin ilmu, dalam perkembangannya masalah-masalah dalam hubungan internasional mengalami perkembangan yang signifikan dan beranekaragam sehingga memunculkan berbagai interpreatasi dan pendekatan dalam usaha untuk memahaminya. Yang paling terasa adalah masalah-masalah yang muncul akibat dari globalisasi. Sebagai sebuh teori empiric yang bersifat historis, realisme mencoba memberi solusi terhadap masalah-masalah actual yang terjadi. Namun, selayaknya sebuah teori, realisme juga mempunyai beberapa titik lemah sehingga mengundang kritisi-kritisi dari pemikiran lain. Yang paling menonjol adalah realisme gagal menjelaskan mengapa berbagai negara yang berbeda atau bahkan bertentangan, misalnya, secara ideologis ataupun politik, tetap berperilaku sama. Mengapa Uni Soviet yang komunis dan Amerika yang liberal kapitalis sama-sama teribat dalam kompetisi merebut kekuasaan, membangun kekuatan militer, atau mengembangkan pengaruh?(Waltz, 1979) .Menurut Waltz, “kegagalan realisme menjelaskan kesamaan perilaku berasal dari metodologi yang digunakannya, yakni metodologi behaviouris. Metodologi ini terlalu mengabaikan aspek faktor penting yang menjadi batas-nbatas kebijakan luar negeri atau perilaku negara. Aspek penting yang menjadikan perilaku negara homogin, dalam pemikiran Waltz, terletak pada kekuatan sistemik, yakni struktur internasional”.

Secara metodologis, pemikiran Waltz berbeda dengan metodologi behaviouris dalam artian bahwa mereka memberi penekanan pada peringkat analisa yang berbeda: unit dan struktur. Metodologi behaviouris berusaha menjelaskan produk politik (perilaku atau kebijakan negara) dengan jalan mengamati unit-unit atau bagian-bagian yang membentuk sistem. Dengan cara ini, semua yang terjadi dalam politik internasional dijelaskan dengan melihat perilaku dan hubungan antar unit dalam politik internasional (negara), yakni perilaku dan interaksi yang didasari oleh tuntutan alami yang dimiliki oleh negara (prinsip-prinsip hakekat manusia) untuk berperilaku sesuai dengan kepentingannya (self-interested), yang dalam prakteknya didefinisikan dengan kekuasaan. Apa yang neorealis inginkan adalah “mensistemasikan realisme politik kedalam teoris sistem yang kuat, deduktif dari politik internasional.” Seperti dikemukakan Kenneth M Waltz dalam bukunya yang berpengaruh Theory of International Politics (1979) dan dianggap sebagai karya utama pemikiran neorealis, struktur internasional muncul dari intreraksi negara dan kemudian hambatan yang dihadapi dalam mengambil tindakan tertentu saat terdorong ke negara lain.
Neorealisme ala Waltz ini pada dasarnya mempunyai perbedaan pada asumsi dasar mengenai pemahaman sifat dasar manusianya, dalam konsep neorealis Neorealisme ini lebih memfokuskan pada struktur internasional yang dapat mengcover masalah internasional. Struktur itu sendiri memberikan batasan-batasan para pemimpin negara dalam menentukan arah kebijakannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa neorealisme yang diusung oleh Waltz lebih membahas tentang hambatan-hambatan struktural kebijakan luar negeri (Waltz, 1979).
Sebagai suatu reaksi dari munculnya neorealisme, maka muncul suatu paham dan pandangan baru yang disebut Neoliberalisme. Ada klaim bahwa awal munculnya neoliberalisme dilatar-belakangi oleh hancurnya “liberalisme, padahal bisa jadi hal ini hanya salah satu faktor saja. Liberalisme dianggap gagal karena ternyata belum juga berhasil mengentaskan kemiskinan umat manusia. Seiring dengan hancurnya liberalisme, pada tahun 1973 terjadi krisis minyak: mayoritas negara penghasil minyak Timur Tengah (TT) melakukan embargo terhadap As dan sekutunya; serta melipat-gandakan harga minyak dunia. Hal ini dilakukan oleh TT sebagai bukti “reaksi” mereka terhadap AS yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur. Keputusan TT ini ditanggapi serius oleh para elit politik negara-negara sekutu AS dan mereka pun saling berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana menjadi dominan, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga ditingkat global di IMF dan World Bank (WB), dan WTO Pada tahun 1975-80an, di AS, Robert Nozick mengeluarkan tulisan berjudul “Anarchy, State, and Utopia”, yang dengan cerdas menyatakan kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah: REAGANOMICS; dan di Inggris, Keith Joseph menjadi penggagas “Thatcherisme” Reaganomics atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan yang dikaitkan dengan pemikiran John Locke, sedangkan Thatcherisme dikaitkan dengan pemikiran liberal John S. Mill dan A. Smith. Walaupun Locke dan Mill serta Smith sedikit berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya tetap bermuara pada: intervensi negara harus berkurang sehingga individu lebih bebas berusaha. Pemahaman inilah yang kemudian di sebut: NEOLIBERALISME (Suryana, 2009).
Paham neoliberalisme lebih mengacu pada aspek ekonomi politik yang menganggap tidak perlu adanya cmpur tangan pemerintah dalam proses ekonomi lokal. Pada noeliberalisme, konsentrasi kajiannya adalah bagaimana mewujudkan konstelasi internasional sebagai suatu wadah perdagangan bebas yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Fokus dari neoliberal dalam konteks kebijakan luar negeri adalah bagaimana membuka pasar bebas dalam skala internasional dengan menggunakan pendekatan-pendekatan politis. Poin-poin yang harus di perhatikan dalam neoliberalisme adalah para neoliberalis selalu menerapkan system mekanisme pasar dalam pandangan-pandangan mereka. Artinya ketika kebebasan individu dilnggarkan batasannya maka yang terjadi adalah suatu kondisi persaingan atau mungkin juga kerjasama antar individu dan kompleksitasnya tanpa adanya campur tangan pemerintah. Neoliberalis juga menekankan pemotongan anggaran alokasi perawatan saran dan prasaran publik Hal ini dikarenakan pandangan neoliberalis adalah bahwa masyarakat sudah dewasa dan mampu untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.
Jika diperhatikan secara cermat, maka terdapat suatu kesamaan antara neorealisme dan neoliberalisme dalam hal pandangan dasar. Dalam neorealisme disebutkan bahwa pandangan ini menganggap negara sebagai actor utama dalam hubungan inernasional namun juga mengakui secara minimalis akan eksistensi dan peran actor lain selain negara misalnya organisasi – organisasi internasional, dalam neoliberalis juga mengakui adanya peran negra yang vital namun peran actor nonstate juga amat vital Maria Chatta berargumen bahwa negara-negara akan bekerja sama terlepas dari pencapaian-pencapaian relatif, dan dengan demikian menaruh perhatian pada pencapaian-pencapaian mutlak. Meningkatnya interdependensi selama Perang Dingin lewat institusi-institusi internasional berarti bahwa neo-liberalisme juga disebut institusionalisme liberal. Neoliberalisme menyerahkan kendali pasar bebas hasil dari institusi – institusi yang ada kepada negara sebgai regulator utama dalam usaha me ncegah terjadinya monopoli. Persamaan lainnya adalah, institusionalis neoliberal menggunakan teori struktural politik internasional seperti halnya neorealis. Mereka terutama berkonsentrasi kepada sistem internasional, bukannya karakteristik unit atau sub unit didalamnya. Sehingga memperkuat pemikiran bahwa neoliberalis indentik dengan adanya berbagai organisasi internasional yang melintas batas negara.

Referensi :
Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer). Graha Ilmu : 2009,
Burchill, Scott & Linklater, Andrew, Theories of International Relations, 1996
Griffiths, Martin and O’Challagan Terry, International Relations The key Concepts, 2002
Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press.
Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua. 2001. ILMU PENGETAHUAN: Sebuah Tinjauan Filosofis. Kanisius : 2001





Tidak ada komentar:

Posting Komentar