Pages

Ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kebenaran yang harus kita tolak untuk mempercayainya (Jacques Derrida)...

Minggu, 26 Desember 2010

FENOMENA MUDIK, KEMBALI KE AKAR BUDAYA

Negara Indonesia adalah negara yang penuh keanekaragaman dalam sosial budaya. Namun terlepas dari itu, masyarakat kita juga mempunyai ikatan yang kuat terhadap kultur budaya asal mereka. Salah satu contoh nyata adalah migrasi besar-besaran yang terjadi pada saat momen-momen tertentu seperti lebaran yang lazim kita sebut budaya mudik. Banyak sudut pandang dalam mendeskripsikan mudik. Mudik secara harfiah dapat diartikan sebagai gerakan para perantau kembali ke kampung halamannya dalam momen momen tertantu misalnya liburan. Namun Di Indonesia, istilah mudik ini di spesialisasikan menjadi tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya keagamaan misalnya menjelang lebaran, momen ini juga di manfaatkan untuk berkumpul dengan sanak saudara dan tentu saja sowan kepada orang tua (www.wikipedia.com, 26-09-2009). Namun secara sederhana dapat di simpulkan bahwa mudik adalah suatu proses untuk mengikatkan diri kita kembali kepada akar budaya yang membentuk kita menjadi pribadi sedemikian rupa ini. Satu contoh, kita dari daerah merantau menjadi mahasiswa Hubungan Internasioanal FISIP Unair, ketika di rantau kita tetap saja bukan siapa-siapa, namun saat kembali ke kampung halaman kita bisa merasakan dan menghayati bagaimana esensi menjadi seorang anggota keluarga.
Budaya mudik dewasa ini telah menjadi suatu fenomena sosial tahunan yang melanda hampir seluruh elemen masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat yang mampu untuk mudik memilih menghabiskan waktu lebaran di kampung halaman bersama keluarga. Faktanya, migrasi besar-besaran ini selalu mendatangkan masalah tiap tahunnya, baik dari segi transportasi, akomodasi, sosial maupun kriminalitas. Bayangkan berapa banyak armada transportasi yang dibutuhkan untuk mengakomodasi seluruh pemudik yang menggunakan transportasi umum yang luar biasa jumlahnya itu? Jumlah penduduk Indonesia sekitar 200juta, bayangkan saja jika seperlima dari jumlah tersebut memilih mudik dengan menggunakan angkutan umum., berapa banyak armada kapal laut, bus, kereta api dan pesawat terbang yang harus disiapkan guna mengakomodasi proses mudik mereka. Dari segi sosial budaya, fenomena mudik ini bukan tanpa efek samping. Tanpa disadari para prantau yang datang dari kota telah menjadi duta kota untuk desa dalam tataran agen perubahan sosial. Perlahan lahan mereka mulai memperkenalkan instrument kehidupan mereka di kota. Contoh sederhana adalah membuminya ponsel di kalangan masyarakat desa. Proses sosialisasi instrument ini secara tidak langsung adalah melalui masyarakat kota yang menggunakan ponsel ini ditengah masyarakat desa. Perlahan lahan mereka mulai menyadari pentingnya komunikasi yang cepat dan tepat, akhirnya mulai mengintegrasi instrument tersebut ke dalam nilai sosial mereka. Konsekuensi dari timbulnya berbagai masalah dalam proses mudik tersebut adalah kriminalitas. Banyaknya peluang untuk berbuat tidak bermoral atau sejenisnya,. Salah satu faktornya adalah keterbatasan ekonomi, contoh paling nyata adalah kebutuhan ekonomi untuk keperluan mudik dan berlebaran.
Sebenarnya, jika kita mau memaknai lebih dalam, mudik dapat diartikan sebagai proses pembelajaran. Proses pembelajaran dari masyarakat desa ke kota dan dari masyarakat kota ke desa, atau dengan kata lain pembelajaran dua arah. Namun faktanya, terjadi suatu ironi disini, proses pembelajaran yang esensinyanya berlangsung dua arah tereksodus menjadi dominasi duta kota terhadap masyarakat desa baik dari segi ekonomi, sosial maupun budaya. Dominasi masyarakat kota tampak pada instrrumen-instrumen kehidupan mereka yang telah terintegrasi kedalam unsur budaya universal mereka. Penanaman nilai nilai dan norma kota yang cenderung individual terhadap masyarakat desa tanpa disadari sering kali membawa dampak kurang positif terhadap stabilitas sosial budaya desa yang menjunjung tinggi rasa solidaritas, gotong royong dan kekeluargaan. Namun secara  sepihak, masyarakat kota yang mudik ke desa kurang memperhatikan sisi positif budaya pedesaaan dan cenderung tidak mau belajar dan bersosialisasi dengan sisi positif pedesaaan dalam ruang lingkup kebudayaan universal. Pertanyaan utamanya adalah bagaimana proses pembelajaran yang seharusnya demokratis ini malah bertrnsformasi menjadi pembelajaran substansial yang menitikberatkan dominasi salah satu actor interaksi. Sebenarnya sederhana jika di pandang dari sudut interpretasi majemuk kontemporer, masalah-masalah seperti ini adalah subsansi endemic dari aspek-aspek kontemplatif sosio cultural yang eksistensinya musiman.



Masalah-masalah sosial seperti ini sering luput dari pandangan kita dalam melihat fenomena mudik ini. Konsentrasi kita sering kali terpusat pada fenomena dan masalah fisik saja, namun sering kali kurang memperhatikan aspek aspek kultural dan sosilogisnya. Banyak dari kita memaknai mudik hanya sebagai tradisi pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga kita yang ada di udik. Namun jika kita mau memaknai secara mendalam, tradisi mudik mengandung banyak pelajaran hidup, karena dengan mudik dari perantauan dan berkumpul dengan saudara, kita dapat memaknai kembali jati diri kita sebagai anggota keluarga. Mudik juga merupakan momen yang tepat untuk kembali mengikatkan diri kita kepada inang budaya yang membentuk pribadi kita menjadi seperti sekarang ini. Jadi, fenomena mudik ini bukan semata mengandung masalah secara fisik saja, namun lebih jauh lagi menyentuh aspek sosio kultural secara univesal.
              

Jumat, 24 Desember 2010


ok, setelah sebelumnya posting saya amat sangat akademis sekarang saat nya erjalan jalan di dunia informal...
perkenalkan sahabat -sahabat saya semasa muda (baca:SMA)....

biru : Saya

abu2 : Ferry "Emon" Adrianto
( http://www.facebook.com/d.monzzz)

Putih : Imam "Bull" Ismail (http://www.facebook.com/profile.php?id=1727848454)

Kerudung Putih : Dwi "Nyink" Kartika (http://www.facebook.com/dwi.kartika2)

Kerudung Hitam : Mega Idhatul "Pingsan" Khuryanti (http://www.facebook.com/profile.php?id=100000194414371)

Kerudung Pink : Anisah "Garam" Nurul Mawaddah (http://www.facebook.com/profile.php?id=1595311068)

Ok, wajah mereka memamng seprti itu, tapi lumayanlah dari pada say tidak punya teman untuk diejek...
hahahah

Postmodernisme dalam Hubungan Internasional : Eksplanasi, Transformasi, Kritisi, Prediksi


Selama ini studi dan teori Hubungan Internasional mengklaim dirinya objektif, bebas nilai, netral dan ilmiah, namun nyatanya dalam menghasilkan karyanya,  para teoritisi hubungan Internasional sebagian besar ditentukan oleh tempat tinggal mereka, yakni konstelasi politik internasional dan ruang imajinatif mereka sehingga apa yang mereka kerjakan adalah penyebaran kekuasaannya melalui penanaman distribusi, pembatasan, pengontrolan terhadap ruang imajinasi pembaca karya mereka. Jika diruntut dari genealogi atau dengan kata lain narasi historisisnya dalam sudut pandang postmodernis, maka Hubungan Internasional sebagai suatu studi lahir di Wales, Inggris (1991) dan para pengarang atau teoritisinya tidak menempati ruang hampa imajinatif dalam menjelaskan politik internasional namun mendapat tempat diruang baca Eropa khususnya dan Dunia Barat umumnya (Maliki dalam Suryana, 2009). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hubungan Internasional yang kita pelajari selama ini adalah interpretasi dari pemikiran dunia barat jika di runtut dari asal muasal narasi historisisnya. Analisis di atas adalah suatu studi kasus yang menggunakan prinsip genealogi dalam menganalisis suatu fenomena. Genealogi dalam studi Hubungan Internasional modern mengonsentrasikan diri dalam hal penolakan terhadap pemberlakuan teori yang sifatnya universal (dapat berlaku kapan dan dimana saja) atau teori kepastian dalam membaca fenomena politik internasional secara terus menerus. Menurut Shapiro, genealogi menunjukkan asumsi penjelasan bahwa pengetahuan seperti Hubungan Internasional dari segi pandang realis, liberalis dan marxis adalah perjuangan war of all against all yang menghasilkan formasi diskursif pengetahuan yang lain sebagai pemenangnya (Shapiro dalam Suryana, 2009). Genealogi postmodernis dalam Hubungan Internasional esensinya adalah korelasi antara klaim ilmu pengetahuan dan kliam power serta otoritas yang kecenderungannya adalah nilai-nilai dari neorealisme. Jika menggunakan metode genealogi, maka dapat disimpulkan bahwa neorealisme merupakan transformasi dari realism yang mendapat kontaminasi nuansa strukturalisme sehingga melahirkan pandangan baru yaitu neorealisme.
Pengetahuan adalah kuasa, dalam aspek epistemologis Hubungan Internasional pengetahuan mempunya kekuasaan untuk mendefinisikan, menentukan, menaklukkan kebaikan, kendali pemikiran, kelembutan jiwa dan kebenaran ontology politik internasional melalui suatu diskursus teori-teori tekstual maupun teori-teori yang sifatnya intertekstual. Menurut Der Derian, teorisasi intertekstual jelas-jelas bukan merupakan suatu proses verifikasi saintifik, bukan juga merupakan anti-saintifik. Pendekatan intertekstualitas mengambil langkah dan memposisikan dirinya pada srategi self-concious, yakni menjauhkan diri dari cara-cara formal yang dominan dan kecenderungannya ahistoris dalah Hubungan Internasional (Der Derian dalam Suryana, 2009). Menurut saya, Hubungan Internasional yang kita pelajari selama ini lebih menonjolkan aspek teoritis yang rumit dak kompleks namun menarik dari segi teoritis namun mempunyai kecenderungan lemah dalam model aplikasi realitas maupun hiper-realitasnya. Jadi, para teoritisi Hubungan Internasional nampaknya terjebak dalam stagnasi dan imajinasi teoritis mereka dalam memahami dan memaknai konstelasi Hubungan Internasional sebagai suatu fenomena dan ilmu yang interdisipliner dari pada memahami realitas dalam Hubungan Internasional yang ada. Der Derian mengilustrasikan bahwa Hubungan Internasional dimulai denga kehadiran revolusi dan jejak kaki atau footnote (Der Derian dalam Suryana, 2009). Der Derian melacak konsep internasional yang disinyalir lahir dari teks aslinya dalam bahasa Inggris international yang oertam kali dipekenalkan oleh seorang schoolar liberalis, Jeremy Bentham, Principles of Morals and Legislation. Lebih jauh lagi, Der Derian membahas bahwa metode interteksualistas dari wording hubungan internasional sendiri amat susah dicari narasi historisnya sebagai suatu kesatuan bahasa yang utuh, yaokni Hubungan  dan Internasional.  Jadi, Hubungan Internasional yang kita pelajari sekarang merupakan footnote atau jejak kaki dari yang berasal dari akar jejak kaki-jejak kaki sumber induk aslinya pun dipertanyakan kembali, karena ketika dilakukan pelacakan terhadap asalah kata Hubungan Internasional sendiri malah ditemukan beragam makna yang dinilai valid dan bukan menghasilkan suatu konsep tunggal yang esensial dari makan Hubungan Internasional sendiri.
            Bertolak dari esensi awalnya sebagai ilmu sosial yang esensisal, maka postmodernis secara umum dapat dikatakan sebagai suatu abstraksi yang kontras terhadap bentuk-bentuk nominalisasi ilmu-ilmu sosial atau lebih dikenal dengan paham positivism. Sebagai anti positivis, konsep teori postmodernisme cenderung mendobrak dominasi mainstream yang umunya bercorak positivis dengan mengatakan bahwa ilmu sosial bukanlah sesuatu yang bisa disebut ilmu. Alasannya adalah karena fenomena sosial adalah sesuatu yang abstrak dan tidak dapat dibawa keranah-ranah nominal positivis karena sangat berhubungan dengan pemikiran-pemikiran subyektif dari manusia dan kompleksitasnya. Mungkin dalam beberapa sistematika teknik penelitian dapat mengadopsi teknik-teknik saintifik dan dengan standart ilmiah, namun tetap tidak dapt mengkonversikan gagasan-gagasan yang didapat dari fenomena sosial untuk kemudian diterjemahkan kedalam metode positivis murni. Maka dari itu, asumsi dari anti-positivis adalah konseptualisasi manusia adalah makhluk yang subyektif dan dinamis, sehingga tidak mungkin dikekang dalam pola-pola positivis yang obyektif dan statis.
            Beralih kebahasan postmodernis dalam model lain, yakni diplomasi menegaskan bahwa pandangn-pandangan postmodernis layak untuk menjadi teori yang digunakan dalam melihat dan memaknai realitas Hubungan Internasional. Hal ini terbukti dengan ketepatan prediksi dan analisis postmodernis terhadap pola diplomasi dan militer saat ini. Diplomasi dengan segala kompleksitasnya sebagaimana prediksi postmodernis mulai mendapat kontaminasi dari berbagai sindrom simulasi teknologi. Sebagai contoh, dahulu seorang actor hanya akan berdiplomasi jika mengenai hal-hal yang menyangkut power dan perang dalam arti engagement war ala Clausewitz, namun sekarang sebab diplomasi dapat menyerupai berbagai aspek, misalnya kepemilikan nuklir. Selain itu, bentuk diplomasi juga tidak ;lagi konvensional seperti adanya pertemuan secara langsung antar pihak-pihak yang berdiplomasi, sekarang dengan adanya media maka diplomasi dapat dilakuakn tanpa adanya masalah-masalah parsial dan spasial.
            Beralih ke pokok substansi esensial dari postmodernis yang terakhir adalah ontologis postmodernis. Esensinya, ontologi dalam postmodernisme adalah sejauh mana objek kritik mempunyai potensi untuk dikritik dari berbagai sisi dan sudut pandang postmodernis. Jadi, esensi ontologis dari postmodernis adalah kritikan terhadap mainstream dan positivis yang tanpa henti dan tidak mengenal kata berakhir. Mereka beranggapan bahwa jika postmodernis telah sampai pada titik yang disebut akhir, maka mereka akan flashback dan kebali kepemikiran-pemikiran jaman modernis yang mereka kritisi sendiri. Jadi, dapat diasumsikan untuk “mempertahankan hidupnya” postmodernis harus terus menghasilkan kritikan-kritikan yang baru untuk mempertahankan eksistensinya kembali ke jaman modernis.



REFERENSI:
Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,
Burchill, Scott et al.2005.Theories of International Relations-Third Edition. New York:  Palgrave Macmillian
http://www.newadvent.org/cathen/11257a.htm diakses tanggal 08 Juni 2010 pukul 22.00
www. Clausewitz.com diakses tanggal 08 Juni 2010 pukul 23.00


                          

Gender dan Feminisme : You Can Not Ignore More Than 50% of World Population

Secara umum, kuantitas populasi wanita lebih besar jika dibandingkan dengan pria. Namun mengapa kaum pria justru mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan sentral? Pernyataan tersebut menjadi dasar dari lahirnya suatu paham tentang kesetaraan gender dalam konteks fungsi dan peran sosial yang disebut feminisme. Feminisme digagas oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet pada pertengahan tahun 1700an, yang kemudian diwujudkan dalam pertemuan ilmiah wanita pada tahun 1785 di Middleburg, kota selatan Belanda. Esensi dari fenimisme adalah unsure-unsur feminitas yang cenderung menjunjung tinggi kedamaian, cinta kasih dan kebersamaan. Pada awak terbentuknya, feminism merupakan suatu gerakan yang mengutamakan kesetaraan hak-hak berpolitik dan legal bagi kaum perempuan (Djelantik dalam Suryana, 2009). Transformasinya kini, feminisme cenderung meluas untuk memperjuangkan martabat dan hak-hak perempuan dari kungkungan sistem struktur yang cenderung subordinatif.
Dalam konteks Hubungan Internasional, adopsi feminisme menjadi suatu pandangan dalam kajian empiris dan praktisnya dimulai pada awal tahun 1900an yang ditandai dengan penerbitan suatu makalah ilmiah oleh London School of Economics yang berjudul Gender and International Relations. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa unsure unsure-unsur feminitas adalah menjunjung tinggi kedamaian, cinta kasih dan kebersamaan kemudian dijelaskan oleh Jean Jaquette sebagai hasil dari akses yang minim terhadap instrument-instrumen yang cenderung memakai kekerasan sehingga kecenderungan feminism adalah persuasive dengan cara koalisi. Asumsi dasar feminism adalah konsep kesetaraan peran dan fungsi sosial dalam gender serta penghilangan marginalitas, diskriminasi serta subordinasi terhadap wanita. Feminism sendiri secara konsep pemikiran dapat diklasifikasikan menjadi 4 dikotomi, Feminisme Liberal yang cenderung menjadikan industrialisasi dan kapitalisme sebagai alat mencapai emansipasi, Feminisme Marxis merupakan lawan dari feminism liberali dengan mengatakan bahwa penindasan perempuan berasal dari instrument ekonomi sosial dan politik yang berasaskan kapitalisme, yang ketiga adalah feminism radikal yang menempatkan locus konsentrasinny pada masalah reproduksi dan seksual dan yang terakhir adalah feminism Islam yang mencoba menggunakan kaidah –kaidah Islami dalam konteks kesetaraan gender (Djelantik dalam Suryana, 2009).
Dalam Hubungan Internasional, sebagaimana disiplin ilmu lainnya terdapat paradigma maskulinitas yang mengawal pembentukannya. Citra dari hubungan Internasional selama ini dibangun diatas fondasi structural dengan sensibilitas yang cenderung maskulin, sebagai contoh dalam penggunaan istilah negarawan, akhiran-wan merupakan indikasi adanya maskulinitas dalam citra Hubungan Internasional. Jika berbicara mengenai ranah Hubungan Internasional, maka tidak dapat lepas dari abstraksi-abstraksi politik karena esensinya Hubungan Internasional adalah hasil subordinasi politik dalam level analisis internasional. Berangkat dari asumsi tersebut, maka sebagai salah satu pandangan dalam Hubungan Internasional feminism juga mempunyai signifikansi dalam bidang politik, khususnya politik internasional. Politik internasional yang sejak lama diasumikan sebagai hal abstrak berbasis gender maskulin yang seringa diasosiasikan dengan kejantanan, ketegasan, keberanian, kekuasaan, kemandirian dan kekuataan fisik (Djelantik dalam Suryana, 2009). Feminisme menolak paradigma kaum realis yang menggambarkan negara sebagai entitas yang kompetitif, rasional, egois, dan mencari kekuasaan sehingga identik dengan citra maskulin. Berangkat dari narasi-narasi historisis, tindakan konkrit wanita dalam bidang politik dapat tercermin dalam beberapa hal, misalnya pemberian jabatan-jabatan setrategis dalam pelaksanaan kenegaraan dan alam lembaga pemerintahan. Hal ini merupakan suatu bukti nyata bahwa kontribusi feminisme secara dikehidupan umum dan dalam Hubungan Internasional secara khusus telah mampu setidak-tidaknya mengangkat derajat perempuan.
Berbicara mengenai kontraposisi feminisme dan realisme, maka konsentrasi pembicaraan adalah pada bagaimana feminisme mengkritisi bagaimana realism memandang actor yang mereka anggap actor utama yaitu actor negara dengan menggunakan kacamata dan sensibilitas maskulin. Feminism mengkritisi adanya sentralisasi kekuasaan politis kepada negara sebagai actor utama menurut pandangan realis. Dengan hadirnya fenimisme variasi actor Hubungan Internasional menjadi semakin bertambah. Lebih jauh lagi, dikotomi actor Hubungan Internasional tidak hanya dibagi menjadi negar dan non-negara saja, namun juga mempertimbangkan aspek gender dan signifikansinya dalam pengambilan keputusan, dan kebijakan dan pada ranah hubungan internasional dalam tataran praktis. Esensinya sejauh mana kontribusi, apresiasi dan ekspektasi terhadap pria dan wanita dalam konteks pengambilan keputusan. Jika berkaca kepada pendekatan teoritis realisme, bidang kajian studi Hubungan Internasional adalah tentang perang, perdagangan, pembentukan rejim dan pengembalian keputusan saat krisis maka image maskulin sangat kental terasa. Ditambah lagi actor dari Hubungan Internasional tradisional didominasi oleh laki-laki seperti pembuat kebijakan nasional dan militer, posisi tentara dan posisi dalam diplomasi sehingga menasbihkan Hubungan Internasional tradisional ala realis adalah “Hubungan maskulin global.” Selanjutnya dalam politik dan metodologi keilmuan terdapat indikasi yang mengarahkan interpretasi kearah maskulin seperti kekuasaan, otonomi dan rasionalitas objektif, padahal yang terjadi adalah Hubungan Internasional sebagai suatu hasil marjinalisasi dari ilmu sosial merupaka suatu subjek yang objek kajiannya adalah benda-benda dinamis berwujud manusia dan kompleksitasnya. Namun, sedikit sekali pandangan dari feminis yang mengemukakan gemer sebagai suatu kategori analisis, misalnya bagaimana perempuan dipengaruhi leh konstelasi politik global atau bagaimana posisi marjinal perempuan diakibatkan oleh bekerjanya sistem ekonomi global (Djelantik dalam Suryana, 2009).
Politik Internasional dalam prakteknya dipandang sebagai suatu keadaan dan lingkungan yang “keras dan berbahaya” bagi perempuan, karena kecenderunagn negara adalah prioritas keamanan nasional sebagai sesuatu yang tertinggi. Menurut Kenneth Waltz, dalam konteks ini negara sedang menjalankan perannya di bawah bayang-bayang kekerasan sehingga perang dapat pecah setiap waktu (Waltz dalam Suryana, 2009). Asosiasi laki-laki lebh kuat dengan aktivitas membela negara dan memepertahankan keamanan baik dalam bentuk sebagai tentara maupun diplomat. Di sisi lain wujud partisipasi perempuan dalam keamanan lebih kepada pihak subordinat yang menyediakan kebutuhan pokok bagi laki-laki yang ada di garis depan, seperti menjadi guru, perawat, pekerja sosial dan dalam pekerjaan lain yang sifatnya memberi kasih sayang. Namun sifat emosional perempuan ini bukan tidak ada gunanya. Emosi yang di identikkan dengan perempuan akan membawa efek psikologis dan menimbulkan signifikasnsi moral dalam politik sehingga dapat merubah citra politik yang selama ini di pandang sebagai suatu proses yang kotor.
Setelah membaca dan mencoba menjelaskan esensi feminisme dan kompleksitasnya, maka saya berpendapat bahwa feminisme merupakan suatu paham yang komprehensif dalam beberapa bidang dan pada tingkat-tingkat tertentu, misalnya dalam konteks menjembatani antara isu-isu kontemporer seperti lingkungan hidup yang secara umum tidak terakomodasi dengan baik jika ditangani oleh pria. Jika saya konstruksikan dengan wording yang saya konstruksikan sendiri, maka saya asumsikan bahwa feminism akan sangat luar biasa kontribusinya jika berada dalam level “feminisme frontal” dan bukan pada level “feminism radikal”, maksudnya adalah feminisme akan sangat bagus jika berani mengungkapkan dan memperjuangkan emansipasinya dengan cara-cara yang vocal, etis dan menjunjung tignggi asumsi kedamaian milik bersama, karena esensi perdamaian adalah bukan saja absennya perang tapi juga penghapusan hubungan sosial yang tidak adil dan tendensius termasuk hubungan gender yang tidak setara.



REFERENSI :
Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,
Burchill, Scott et al.2005.Theories of International Relations-Third Edition. New York: Palgrave Macmillian
Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press.



Mazhab Inggris: Inekivalensi Diskursus International Society (English Shcool)

Dalam memenuhi kodratnya sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai suatu substansi estetis yang diterjemahkan sebagai suatu pola lanjutan komunikasi dua arah yang disebut interaksi. Dalam tataran individual pola interaksi ini yang ,mengilhami sekelompok scholar asal Inggris untuk mengkaji lebih lanjut tentang konseptualisasi interaksi masyarakat internasional dalam level analisis Internasional yang merapatkan diridan membentuk English School. English School menyandarkan diri pada asumsi normatif dari para schoolarnya seperti Jones, Linklater dan Suganami, Hedley Bull, Martin Wight, Robert Jackson, Tim Dunne dan Nicholas Wheeler mengemukakan berbagai teori normatif asumtif yang konsentrasinya cenderung kearah artikulasi konstelasi masyarakat internasional dan pengaruhnya terhadap konstelasi politik inbternasional. Istilah masyrakat internasional ini merujuk kepada suatu gagasan mengenai moralitas dan hukum dalam level internasional yang mengindikasikan adanya suatu kondisi ideal yang mengatur perilaku interaksi antar negara. lebih konstruktif lagi, masyrakat internasional dimaknai sebagai suatu kumpulan negara yang sadar akan kesamaan kepentingan dan secara sadar menyusun diri sebagai suatu konfigurasi masyarakat yang mengikatkan diri kepada suatu aturan bersama dalam hubungan bersama dalam konteks peranan dalam lembaga-lembaga masing-masing dengan tendensi kepentingan.
Berbicara tentang mahzab English School tidak akan terlepas dari stigma tentang ekivalensi antara Mahzab English School dengan paradigma masyarakat internasional. Masyarakat Intenasional tidak dapat dipungkiri adalah bagian paling konfliktual secara teoritis sebagai hasil olahan metodologis dan ontologis dari mahzab English School. Mengutip pendapat Bull tentang penolakan pemaknaan masyarakat dunia yang selama ini selalu dikaitkan dengan konteks global yakni pemaknaannya sebagai suatu derajat interaksi yang menghubungkan masyarakat dunia secara global melainkan harus adanya consensus tentang aturan yang dapat mengakomodasi kepentingan bersama dalam organisasi yang sama. Namun, pemahaman tentang masyrakat internasional ini dalam tubuh penganut Mahzab English School sendiri juga masih berupa propaganda. Dalam pandangannya, Bull berskap skeptis tentang eksistensi real dari masyarakat internasional. Bull beranggapan bahwa masyarakat internasional hanya merupakan gagasan normatif belaka tanpa ada bukti nyatanya dalam realitas. Dalam asumsi lain, Wight menyatakan bahwa konsep masyarakat internasional menghentikan dan menutupi perkembangan masyarakat real yang diasumsikan terdiri dari laki-laki dan perempuan yang intinya Wight setuju dengan asumsi dasar masyarakat internasional ala Mahzab English School. Namun disisi lain, mayoritas anggota Mahzab English School masih meyakini asumsi dasar realis tentang artikulasi, legitimasi dan agregrasi kepentingan manusia melalui mekanisme yang digalang oleh negara-negara berdaulat dan peran penting negara dalam mewujudkan kepentingan individual dan kelompok baik dalam konteks lokal maupun global.
Belum selesai perdebatan mengenai eksistensi masyrakat internasional secara real, muncul lagi suatu permasalahan kontemporer yang dimunculkan oleh Bull sebagai penganut setia mahzab English School yaitu korelasi antara masyarakat internasional dan politik internasional sebagai suatu substansi esensial. Masyrakat internasional sebagai bagian dari politik internasional merangkul kekuatan-kekuatan transnasional dalam artian mereka merangkul entitas-entitas diatas negara yang menjadi ciri dari pandangan liberalisme menjadi fondasi kekuatan mereka. Hal ini mejadi suatu kontradiksi, bagaimana suatu teori dengan segala kompleksitasnya secara awam dapat dikatakan memandang permasalahan dari pandangan yakni realis yang ditandai dengan pengakuan terhadap peran penting negara dalam interaksi berbagai komunitas masyrakat dan liberalisme yang ditandai dengan perngakuan adanya kekuatan politis yang berpengaruh terhadap level interaksi masyarakat internasional sebagai entitas diluar negara dengan asumsi adanya kekuatan supranation setingkat transnasional.
Jadi, dengan adanya konsep masyarakat dunia dan masyrakat internasional yang dikembangkan oleh Mahzab English School, maka dapat dikatakan telah adanya garis pembeda yang tegas antara pandangan pluralis dan solidarisme mengenai masayrakat internasional. Dalam konteks pandangan tradisional, masyrakat internasional dianggap sebagai suatu konsep yang kalah penting dengan analisis terhadap polam interaksi antar negara sebagai penyusun fondasi politik internsional. Jika di telaah lebih mendasar lagi, Mahzab English School merpakan substansi dari Teori Kritis. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkaca pada munculnya perdebatan dalam tubuh Mahzab English School sebagai cerminan dari kepedulian Mahzab ini terhadap potensi emansipasi manusia yang menjadi dimensi kajian teori kritis.
Agenda Mahzab English School adalah kritis dan normative yang telah menjadi suatu pegangan penting bagi sarjan-sarjajna muda di tahun 1990an (Suryana, 2009). Focus kajina pada masa itu adalah bagaimana suatu intervensi kemanusiaan tidak boleh menghalangi hubungan yang lebih mendalam lagi antara dunia maju dan negara berkembang. Perkembangan kajian Hubungan Internasional sangat didukung oleh studi kompareatif dan narasi historisis dari Mahzab ini karena meletakkan nilai-nilai normative sebagai bagian penting dari sistem internasional. Analisa ini didasarkan pada pendekatan yang dilakukan oleh English School merupakan pendekatan historisis dan studi komparatif dengan komparasi tiap satuan komunitas masyarakat dan catatan historis dan perkembangannya dari waktu-ke waktu.
Beralih keranah kritik terhadap asumsi substansi teori kritis ini, Mahzab English School banyak dikatakan sebagai sebuah batu keras yang tidak akan mau mengubah posisinya dalam perdebatan empirik demi pengakuan terhadap integritasnya. Namun, pandangan ini malah memancing asumsi bahwa sikap pengaut mahzab ini menyebabkan berkurangnya integritras dan konsekuensi dari mahzab ini. Di lain sisi, Mahzab ini juga terkesan bermuka dua dengan melihat konstelasi internasional dari dua arah yang berbeda yang dibuktikan dengan adanya perdebatan didalam tubuh Mahzab Inggris. Sebagai contoh kurang konsistennya mahzab ini adalah disalh satu pandangnnya meskipun membedakan diri dengan realis, namun dalam suatu waktu mereka juga tidak ragu menggunkan pandangan realis dalam analisisnya. Secara umum, pandangan kontekstual dari mahzab ini terhadap realis, rasionalis dan revolusionis dapat dijelaskan sebagai berikut. Realis dipandang sebagai pemerhati politik anarki karena mereka memandang realis sebgais suatu tampilan yang kekal yang tidak berubah dalam Hubungan Intrenasional. Yang kedua, rasionalis dipandang sebagai negasi dari realis yang menggambarkan bahwa diplomasi dan perdagangan dapat merubah efek anarki dari politik anarki ala realis dipandang dari sudut pandang pengorganisasian dan interaksi yng berkesinambungan. Yang ketiga, revolusionis dinaggpa sebagai entitas yang memusatkn perhatin pada cara multiplisitas negar-negar berdaulat dalm membentuk keseluruhan moral dan cultural yang dapat melewati efek anarki (Little dalam Suryana, 2009). Akhirnya, dapat ditarik suatu kesimpulan logis bahwa analogi Mahzab Inggris yang setara dengan masyarakat internasional, karena kompleksitas dari Mahzab Inggris masih terdapat banyak variable aspek yang dikaji oleh Mahzab Inggris selain masyarakat internasional, misalnya Puralisme Metodologis,Positivisme, Realisme, sistem internasional dan revolusionisme dalam konteks sudut pandang mereka dan dalam level analisis Hubungan Internasional.

Referensi :
Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,
Burchill, Scott & Linklater, Andrew, Theories of International Relations, 1996
Griffiths, Martin and O’Challagan Terry, International Relations The key Concepts, 2002
Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press.





.

Teori Kritis : Asumsi Analitis Dalam Hubungan Internasional


 Hubungan internasional sebagai suatu kajian interdisipliner dalam narasi besar historisnya selama kurun waktu sebelum 1980an selalu dimaknai sebagai suatu disiplin ilmu yang cenderung penuh kepastian dan statis. Selama kurun waktu tersebut, mahasiswa-mahasiswa Hubungan Internasional diarahkan untuk memahami konteks Hubungan Internasional dalam standar eksakta yakni menggunakan patokan-patokan fakta dan kepastian dan diarahkan melihat pola hubungan Internasional sebagai suatu pola interaksi politik antar negara dengan suatu batasan-batasan dan nilai-nilai yang pasti( Sugiono dalam Suryana, 2009). Akibat perkembangan jaman yang semakin kompleks dalam segala bidang, memunculkan berbagai realitas baru dalam fenomena Hubungan Internasional yang secara umum belum mampu dijangkau oleh grand theory Hubungan Internasional. Puncaknya terjadi pada masa post cold war yang memunculkan berbagai kompleksitas realitas baru seperti isu-isu global warming, kemiskinan, lingkungan, masalah demografi dan nasionalisme yang belum tersentuh oleh grand theory sehingga memuculkan suatu kritikan baru yang disebut teori kritis. Teori ini mengadopsi pandangan dari para Marxis seperti Imanuel Kant dan Karl Marx yang kemudian disempurnakan oleh beberpa scholar dari Franfurt School seperti Jurgen Habermas, Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Pandangan ini disebut teori kritis karena lebih cenderung menggunkaan perspektif manusia secara individual dan berdasarkan pengetahuan manusia tentang dunia dan berbagai fenomenanya. Jadi, dalam teori kritis asumsi pribadi sangat rentan terhadap kontaminasi asumsi-asumsi pribadi dalam aplikasi teori sehingga membentuk suatu teori yang tidak bebas nilai dan mengandung muatan kepentingan pribadi. Asumsi dari kaum kritis mengatakan bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajhari manusia sebagai suatu entitas sosial yang dinamis dan tidak bebas nilai sehingga sebagai suatu produk dari konstruksi pemikiran manusia, maka ilmu pengetahuan juga harus menempatkan nilai-nilai sosial dalam tataran konsep maupun praktikalnya.



Asumsi-asumsi teori kritis banyak dipengaruhi bahkan diilhami oleh pandangan neomarxisme yang mengkritisi tentang pandangan liberal terhadap persaingan ekonomi yang dinarasikan oleh liberalis. Liberalis menggambarkan bahwa pola interaksi ekonomi ala liberal sebagai produk dari terbentuknya suatu ranah kompetitif dimana terjadi keterbukaan keanggotaan sehingga individu masuk kedalamnya secara sukarela. Hal ini menciptakan suatu celah untuk masuknya kritik bagi kapitalisme liberal yang secara nyata telah menciptakan golongan-golongan kelas sosial borjuis dan proletar yang bernuansa penderitaan kaum proletar. Sebagai suatu reaksi atas minculnya fenomena tersebut, teori kritis yang dikembangkan Franfurt School menganalisisnya sebagai suatu impact dari adanya peran media masa sebagai sarana komunikasi masal untuk menyebarkan paham kapitalisme dan berbagai kepentingan yang menjurus kepada kapitalisme secara luas. Namun, lebih esensial lagi adalah aspek pembentukan serta penyebaran paham dan kepentingan yang diakomodasi oleh bidang pendidikan. Pendidikan esensinya adalah transfer ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang kepada masa yang tidak menutup kemungkinan akan adanya transfer paham pribadi. Individu didoktrin untuk menganggap benar apa yang menurut media masa dan menurut publik benar. Jadi, hal ini menegaskan bahwa kapitalisme yang ada sebagian besar di pelopori oleh media masa melalui pendidikan sebagai substansinya sehingga konsep ini dapat menjelaskan secara kronologis dan kosntruktif mengenai kegagalan para pekerja proletar menentang kapitalisme yang nyata mereka hadapi.

Penjelasan diatas merupakan arti penting peran scholar Franfurt School dalam kontribusinya terhadap Hubungan Internasional. Namun, esensinya pandangan tersebut merupakan intisari dari asumsi Gramsci dan Habermas tentang neorealis yang memandang Hubungan Internasional dari sudut pandang konvensional yaitu all about power. Gramsci dalam pandangannya juga memasukkan pentingnya ideologis sebagai sarana mempertahankan kelas sosial yang ada dan dapat juga digunakan untuk merestrukturisasi kondisi sosial suatu negara. Kaitannya dengan pendidikan, bahwa kaum borjuis atau kaum penguasa dapat menanamkan doktrin melalui aspek pendidikan bahwa keadaan yang ada sekarang adalah suatu kondisi keadaan yang adil bagi semua pihak dengan berpandangan pada kapasitasnya masing-masing. Teori kritis menawarkan solusi bahwa untuk menciptakan progress kearah yang lebih baik maka fondasi yang harus dirubah terlebih dahulu adalah ideology negara tersebut. Dalam kaitan lainnya, Habermas seorang ahli komunikasi menggarisbawahai tentang komunikasi yang cenderung persuasif dalam mengkonstruksi pemahaman manusia terhadap dunia karena dunai ini dibangun diatas fondasi nilai dan norma yang sifatnya interpretatif. Realitasnya, pada post cold war hegemoni dunia dimonopoli oleh sebuah negara yang disebut Amerika dalm pandangan neorealisme. Sistem internasional menjadi unipolar dengan kiblatnya adalah Amerika sebagai suatu entitas politik, hukum dan ekonomi yang dominan secara global. Teori kritis melihat struktur sistem bukan sebagai sesuatu yang seharusnya berlaku global namun lebih kepada suatu hal yang particular karena sangat berpotensi menimbulkan otorisasi kekuasaan. Lebih jauh lagi, dibalik hegemoni esensinya terdapat individual interest yang kecenderungannya adalah kapitalis. Jadi, kaum Kritis mengkritik neorealist melalui sisitem internasionalnya, mereka berpendapat bahwa sisitem yang berlaku secara gloiabl sangat berpotensi menimbulkan global capitalism.

Secara khusus asumsi dan konsep pemahaman Habermas ini melahirkan suatu tipologi baru dalam pola interaksi Hubungan Internasional. Komunikasi dan persuasi yang bagus dapat berkembang kearah diplomasi yang merupakan substansi dari postmodern strategy dalam masa postmodern seperti sekarang ini. Diplomasi sebagai new way dalam menyelenggarakan Hubungan Internasional dianggap telah memenuhi konsep kemenangan ideal menurut Sun Tzu dalam konstelasi internasional yaitu konsep kemenangan yang diraih tanpa mealalui konfrontasi fisik (Sun Tzu, 400SM). Dalam perkembangannya, diplomasi akan menjadi suatu cara baru dalam menyelenggarakan Hubungan Internasional karena dianggap lebih menguntungkan berdasarkan kalkulasi untung rugi secara rasional jika mengadakan perang menurut konsep Clausewitz (Clausewitze, On War). Masih dalam pandangan Habermas tentang komunikasi, maka dapat diaplikasikan dalam level analisis Hubungan Internasional dibidang pengambilan keputusan dalam negara demokrasi. Seperti yang kita pahami, demokrasi menggunakan pemilihan suara dalam menentukan masa depan struktur politisnya. Untuk mendapat dukungan dalam pemiluhan secara demokratis maka perlu suatu komuniksi masa yang baik. Dalam hal ini konsep komunikasi Habermas dapat diaplikasikan secara praktis. Jadi, secara umum teori kritis menambah dan memperluas khasanah kajian dalam Hubungan Internasional. Jika pada sekitar 1980an hubungan Internasional dimaknai hanya sebagai suatu interaksi antara entitas negara saja, maka dengan berkembangnya berbagai paradigm maka isu-isu kontemporer juga mendapat perhatian secara khusus.







REFERENSI :

Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,

Burchill, Scott et al.2005.Theories of International Relations-Third Edition. New York:  Palgrave Macmillian
Steans, Jill and Liyod Pettiford.2005.Introduction to International Relations : Perspective and Themes 2nd Edition. Essey Ashford:Gloori Press Ltd.

Sun Tzu. The Art of War. 400SM

www. Clausewitz.com diakses tanggal 20 Mei 2010 jam 02.00 WIB







Konstruktivisme : Ontologi dan Variasi

Hubungan Internasional sebagai suatu subyek yang interdisipliner mempunyai kecenderungan berdiri diatas berbagai fondasi keilmuaan yang beranekaragam. Sebagai substansi dari ilmu sosial, maka Hubungan Internasional mendapat banyak sumbangan pemikiran-pemikiran dari pemikir ilmu sosial secara umum. Berbagai teori-teori sosial yang beresensi interaksi manusia dan kompleksitasnya kemudian dibawa ke ranah-ranah yang ebih global dan dimodifikasi sedemikian hingga dengan menggunakan level analisis hubungan internasional. Salah satu teori yang cukup komprehensif untuk jaman global seperti sekarang ini adalah Konstruktivisme. Konstruktivisme dalam level analisis hubungan internasional mulai berkembang di Amerika sejak berakhirnya perang dingin sebagai reaksi atas kegagalan mainstream Hubungan Internasional (realism-liberalisme) dalam menjelaskan, memahami dan memprediksi transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis (Poerbasari dalam Suryana, 2009).
Secara ontologis konstruktivis berdiri di atas tiga pilar utama, yang pertama adalah struktur sebagai pembentuk perilaku aktor sosial dan politik, baik individual maupun negara, tidak hanya terdiri memiliki aspek material, tetapi juga normatif dan ideasional (Adler dalam Suryana, 2009). Jika dibandingkan dengan realis dan marxis yang memandang bahwa kekuataan material hanyalah militer dan ekonomi kapitalis, konstruktivis menyatakan bahwa sistem nilai, norma, keyakinan dan ideasional kolektif juga memiliki karakteristik struktural dan menentukan tindakan sosial maupun politik dalam prakteknya. Sumber-sumber material sebenarnya hanya bermakna bagi tindakan atau perilaku melalui struktur nilai atau pengetahuan bersama. Disamping itu, struktur normatif dan ideasionallah yang sebenarnya membentuk identitas sosial aktor-aktor politik.
Pilar ontologis kedua adalah identitas sebagai pembentuk kepentingan dan tindakan. Berbaeda dengan proporsi realis dan marxis yang mengonsentrasikan diri kepada cara-cara aktor-aktor politik khusunya Hubungan Internasional mencapai tujuan mereka, konstruktivisme menekankan kepada sebab sumber-sumber munculnya kepentingan dari aktor-aktor politik. Jika dikaitkan kedua ontologi ini, maka dapat ditarik kesimpulan asumtif ontologi kedua ini terkait dengan dasar ontologis yang pertama yaitu identitas menentukan pembentukan kepentingan. Identitas adalah sesuatu yang mengarahkan pembentukan kepentingan dari aktor-aktor politik. Audrey Klotz memberikan contoh, dalam kasus Apartheid di Afrika Selatan pengembengan sanksi-sanksi internasional tidak dapat dijelaskan tanpa merujuk pada kepentingan-kepentingan negara-negara maju, khususnya Amerika, dimaknai kembali pada tahun 1980an (Klotz dalam Suryana, 2009). Proporsi ontologis ketiga adalah bahwa agen dan struktur diciptakan setara. Esensinya, konstruktivis adalah strukturasionis yakni menekankan peran struktur non-material terhadap identitas dan kepentingan dan pada saat yang bersamaan menekankan peran praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. Artinya, meskipun sangat menentukan identitas (dan oleh karenanya juga kepentingan) aktor-aktor politik, struktur ideasional atau normatif tidak akan muncul tanpa adanya tindakan-tindakan aktor-aktor politik (Poerbasari dalam Suryana, 2009).
Walaupun didasarkan dari tingkat ontologis yang sama, namun konstruktivisme berkembang melalui tiga varian pemikiran yang berbeda: sistemik, level unit dan holistik. Konstruktivisme sistemik dengan tokohnya Alexander Wendt menekankan kepada interaksi antar negara sebagai aktor tunggal dan mengabaikan kompleksitas proses pembentuk interaksi didalam negara tersebut. Hal ini hampir sama dengan pandangan neorealis, yang juga menganggap negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Lebih jauh lagi, keduanya (neorealisme dan konstruktivisme) juga menganggap anarki adalah keadaan yang penting dalam politik internasional, namun bedanya konstruktivis melihat anarki adalah suatu hasil produksi dari pola interaksi antar negara bukan seperti neorealis yang melihat anarki sebagai suatu pola interaksi antar negara. Varian keduanya adalah mencoba melihat dan memaknai adanya pengaruh norma-norma sosial ditingkat domestik bagi identitas dan kepentingan negara. Sebagai contoh, Peter Katzenstein mencoba menganalisis bagaimana kedua sebagai negara yang kalah perang, mengalami pendudukan asing dan berubah dari otoritarian menuju demokrasi, memiliki kebijakan-kebijakan pertahanan internal dan external yang sangat berbeda. Menurut Katzenstein, perbedaan ini mencerminkan institusionalisasi norma-norma sosial dan legal yang berbeda di tingkat nasional kedua negara tersebut. Pengambilan keputusan dalam bidang – bidang vital mendapat intervensi dari nilai dan norma yang diinternalisasi dari pihak yang mengalahkan mereka. Sekalipun tidak mengabaikan peran norma internasional dalam membentuk identitas dan kepentingan negara, penekanan yang berlebihan pada aspek domestik menempatkan konstruktivisme (dalam varian ini) pada posisi yang sulit untuk menjelaskan munculnya kesamaan-kesamaan antar negara ataupun adanya pola-pola konvergensi idetitas dan kepentingan negara-negara yang berbeda (Katzenstein dalam Suryana, 2009).
Varian konstruktivisme terakhir adalah konstruktivisme holistik yang mencoba berpikir menyeluruh dari dua sisi dan mencoba mengakomodasi dua perpektif konstruktivis yang berbeda diatas dengan memaknai aspek domestik dan internasional sebagai dua hal yang berbeda sebagai hasil dari aspek sosial politik yang sama. Konstruktivis holistik berusaha menjelaskan dinamika perubahan global  terutama dalam kaitannya dnegan muncul dan hancurnya negara berdaulat  melalui hubungan timbal balik antara negara dan tatanan global tersebut. Hubungan ini ditunjukkan dengan dua cara yang berbeda. John Gerard Ruggie, misalnya, berusaha menjelaskan perubahan dalam politik internasional akibat munculnya negara berdaulat dari puing-puing feodalisme Eropa dengan menekankan pada pentingnya perubahan dalam episteme sosial atau kerangka pengetahuan (1986, 1993). Cara yang kedua diwakili oleh karya Friedrich Kratochwil mengenai berakhirnya Perang Dingin, dengan menekankan pada perubahan dalam gagasan mengenai tatanan dan keamanan internasional. Karena besarnya perhatian terhadap transformasi-transformasi yang bersifat global dan besar, varian konstruktivisme cenderung bersifat strukturalis dan mengabaikan aspek agency sebagai salah satu preposisi ontologis konstruktivisme. Dalam artian ini, gagasan, norma maupun budaya dipahami memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah transformasi, tetapi terlepas dari keinginan, pilihan ataupun tindakan manusia (Suryana, 2009).
Konstruktivisme dan teori kritis mempunyai benang merah yakni berangkat dari tradisi kritis yang sama sehingga mempunyai kesamaan pandangan yang menolak posisi ontologis neoliberalis dan neorealis neoliberal dan neorealis yang menggambarkan manusia secara rasionalis, yakni sebagai aktor-aktor yang atomistis dan egois sedangkan masyarakat hanyalah sebagai arena strategis semata-mata. Sebaliknya konstruktivis melihat manusia dari sisi yang lain yakni sebagai makhluk sosial, terbentuk melalui komunikasi dan kultur. Disamping itu, konstruktivisme dan teori kritis menggunakan metodologi yang sama: menolak positivisme dan lebih menekankan pada metodologi interpretif, diskursif dan historis (Suryana, 2009). Namun, keterkaitan keduanya (konsruktivisme dan teori kritis) tidak sejala dalan semua hal, teori kritis juga mengkritisi persepsi konstruktivis yang mengabaikan aspek power dalam mamahami nilai dan melihat nilai sebagai sesuatu yang bias dan netral. Jadi, menurut pemikir teori kritis, kaum konstruktivis telah kehilangan suatu tujuan esensial dari pemikiran kritis yaitu emansipasi (Poerbasari dalam Suryana, 2009).
Jadi, sekalipun memahami realitas bukan sebagai sesuatu yang baku, alamiah dan abadi melainkan sebagai produk dari interaksi dan selalu dinamis dan hampir tidak bisa diprediksi, konstruktivisme tidak memaknai interaksi antar nilai ini sebagai sebuah proses politik yang sangat berpengaruh pada aspek keadilan, kesederajatan dan kebebasan.
REFERENSI :
Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,
Burchill, Scott & Andrew Linklater, , Theories of International Relations, 1996
Griffiths, Martin and O’Challagan Terry, International Relations The key Concepts, 2002
Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press.

Foreign Policy : Reaksi Suatu Negara

Foreign Policy atau kebijakan luar negeri secara sederhana dapat diartikan sebagai pola reaksi dari suatu negara dalam menghadapi permasalahan baik yang datang secara periodic maupun yang datang secara tiba-tiba. Menurut Jack C. Plano & Roy Olton, foreign policy adalah strategi atau rencana tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional(Plano, 1999). Dalam pengertian ain disebutkan bahwa foreign politics iadalah  suatu mekanisme bagi suatu sistem politik untuk beradaptasi dengan lingkungan geopolitiknyua dan untuk mengendalikan lingkungan itu demi mencapai tujuannya (Mas’oed, 1990). Kebijakan luar negeri ini sebagai alat dalam menjalankan konsep politik luar negeri suatu negara sehingga erat kaitannya dengan pola interaksi antar negara karena politik luar negeri adalah pandangan suatu negara tentang bagaimana menjalin dan berinteraksi dengan negara lain. Sedangkan politik luar negeri adalah interpretasi suatu negara dalam lingkup sosial budayanya. Politik luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh banyak variabel diantaranya; kebudayaan, ukuran, lokasi geografis, sejarah, kekuatan militer, kerjasama ekonomi, bentuk pemerintahan.Biasanya sebuah negara mencantumkan kepentingan ekonomi, militer dan posisinya dalam sebuah politik luar negeri sehingga dapat terangkum dan terakomodasi dalam Foreign Policy.

 Beberapa pendekatan dasar yang diambil dalam Foreign Policy antar lain melalui pendekatan ekonomi misalnya embargo terhadap komoditas tertentu dan pemberian pinjaman luar negeri, diplomasi dengan perundingan damai serta melalui ranah militer. Dalam perkembangannya politik luar negeri mengalami transformasi dalam lingkup konsentrasinya, jika dahulu politik luar negeri terkonsentrasi pada actor negara sebagai pelakunya, maka akhir-akhir ini konsentrasinya meluas dan meliputi actor-aktor non negara seperti NATO, NAFTA, UN yang mampu mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. Organisasi-organisasi supranasional tersebut memunculkan berbagai isu-isu global yang sebelumnya tidak mendapat perhatian seperti hak asasi manusia, perdagangan, peacekeeping dan pengaturan persenjataan. Menurut Kenneth Boalding, konsep foreign policy dapat didefinisikan sebagai :

a.      Pragmatik/ Komprehensif : Grand strategy, yang melibatkan birokrasi lengkap, aktor, serta national dan international milleu

b.      Cases: Situasi darurat, yang mana lebih melibatkan individual/ elite saja dalam pembuatannya.

c.       Tactical/ Operasional: rutin/ reguler, di mana melibatkan personel birokratik sudah cukup.



Jadi, perbedaan antara foreign policy dan foreign politics terletak pada batas cakupannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa foreign politics mempunyai cakupan yang lebih luas daripada foreign policy karena dalam prakteknya foreign policy merupakan perpanjangan dari foreign politics dan foreign politics merupakan suatu konsep dari pola interaksi yang terjadi antar foreign policy.

Foreign policy dipengaruhi oleh faktor-faktor determinan yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua sisi yaitu eksternal dan internal. Faktor eksternal disini diasumsikan sebagai pengaruh yang datang dari luar negeri dan dapat mempengaruhi proses pengambilan kebijakan sehingga mencapai hasil akhir yang berbeda, misalnya geopolitik, karakter negara lain, serta perubahan posisi states dalam power hierarchy dan international prestige. Sedangkan faktor internal disini diasumsikan sebagai faktor yang berasal dari domestic dan berpengaruh terhadap proses pengambilan kebijakan luar negeri, misalnya military capabilities yang dimiliki suatu negara, economic development, system of  the government ( ada perbedaan antara pemerintah yang demokratis dan tidak dalam pembuatan suatu keputusan). Dalam pandangan Kenneth Boalding, faktor –faktor determinan yang mempengaruhi pengambilan Foreign Policy ada lima, yaitu :



1. Variabel idiosinkretik (individual)

Merupakan persepsi individu atau asumsi pribadi individu terhadap suatu permasalahan. Variabel ini sangat berpengaruh jika orang tersebut mempunyai kekuasaan, karena individu tersebut lebih mempunyai power untuk mengaplikasikan pandangannnya. Variabel ini lebih berpengaruh pada sistem politik otoriter daripada demokratik-kompetitif karena sentralisasi pemerintahan yang terjadi akan memudahkan hierarkis dan distribusi wewenang yang terpusat.

2. Variabel Peranan

       Secara umum dapat disebut juga sebagai kode etik atau aturan berperilaku pejabat yang diharapkan dilakuakan oleh pejabat pengambil kebijakan. Dapat juga diasumsikan orang-orang yang memiliki peran dan posisi strategis dala pemerintahan atau yang berada di sekitar decision maker memasukkan pandangan dan kepentingan pribadinya dalam kebijakan yang akan dibuat.

3. Variabel birokratik

Kompleksitas birokrasi adalah ciri normal sebagian besar negara – bangsa dan bahwa politik luar negeri mencerminkan kepentingan berbagai bagian birokrasi yang saling bertentangan. Menurut Allison, variabel ini lebih banyak berpengaruh pada negara besar yang memiliki birokrasi yang besar dan kompleks. Sederhananya variabel birokrasi adalah suatu persaingan kepentingan antara departemen yang ada dalam pemerintahan karena telah terjadi suatu distribusi wewenang kedalam subordinat-subordinat yang lebih kecil. Misalnya dalam suatu pemerintahan akan mengeluarkan ke kebijakan tentang kenaikan pajak maka yang berwenang mengeluarkan kebiajakan adalah Badan Fiskal atau di Indonesia dikenal dengan Badan Fiskal Nasional.

4. Variabel Nasional

                 Variabel Nasional memiliki esensi semua aribut dan ciri fisik yang menjadi identitas suatu negara. Variabel Nasional meliputi letak astronomis suatu negara, letak geografis, letak geologis, iklim yang terjadi di suatu negara, sumber daya alam yang dimiliki suatu negara dan demografi atau kuantitas dan kualitas penduduk yang dimiliki negara tersebut. Karena sifatnya yang lebih statis maka penggunaan variabel ini lebih kepada keadaan pragmatik dan taktik dari pada krisis, dengan asmsi keadaan krisis lebih dinamis dan cenderung berjangka pendek.

5. Variabel Sistemik

Dalam bentuk lain disebut juga International milleu yang lingkupnya cenderung kearah trend internasional saat itu. Secara khusus meliputi semua variabel eksternal negara yang dianalisis, seperti struktur dan proses internasional secara keseluruhan dan juga agenda internasional saat itu. Umumnya lebih langsung mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh negara kecil dan lemah karena keterbatasan power yang dimiliki membuatnya harus berhati-hati dan selalu memperhatikan fluktuasi serta dinamika internasional.

           

Jadi, dapat disimpulkan bahwa definisi dari foreign policy dan foreign politics adalah terpisah. Jika berbicara mengenai foreign policy maka yang dibicarkan adalah suatu pola reaksi terhadap fenomena yang terjadi dalam lingkup internasional. Sedangkan foreign politics adalah grand strategy dari foreign policy. Artinya implementasi dari foreign politics adalah foreign policy dimana foreign politics mempunyai periode yang lebih panjang dan statis dari pada foreign policy.





REFERENSI :

Mas’oed, Mochtar, 1990. Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi. Yogyakarta. PAU UGM

Plano, Jack C. & Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Jakarta: Penerbit Putra A Bardin.

Couloumbis, A. Theodore & James H. Wolfe. 1986. Pengantar Hubungan Internasional : Keadilan dan Power .Hall Inc., Englewood Cliffs, NJ : USA










Kompleksitas Deterrence, Defense, dan Compllence

Berbicara mengenai konsep deterrence, defense, dan compllence akan erat kaitanya dengan fenomena perang dingin yang terjadi dalam kisaran tahun 1945 sampai kisaran tahun 1990. Efek dari perang dingin menimbulkan berbagai pandangan dan kajian baru dalam hubungan internasional, misalnya tentang deterrence yang diartikan sebagai sebagai kegiatan yang dilakukan oleh sebuah atau sekelompok negara untuk mencegah negara lain menjalankan kebijakan yang tidak dikehendaki (Plano, 1999). Deterrence juga bisa diartikan sebagai bentuk penolakan untuk mempercayai pihak lain dengan asumsi pihak lain tersebut justru akan memberikan kerugian yang lebih besar. Sarana yang dipergunakan untuk menjalankan kebijakan deterrence bisa berupa penggunaan senjata pemusnah massal (WMDs), kekuatan senjata konvensional, peningkatan kapabilitas militer secara umum, membentuk aliansi, sanksi ekonomi atau embargo, dan ancaman melakukan pembalasan. Dalam poandangan lain, deterrence juga diartikan sebagai dialektika “jangan menyerang saya, atau akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepadamu (Griffith, 2002).” Jadi, dapat ditarik suatu asumsi logis bahwa korelasi antara deterrence dan militer khususnya senjata nuklir sangat erat karena segala aspek deterrence seperti kekuatan senjata konvensional, peningkatan kapabilitas militer secara umum, membentuk aliansi, sanksi ekonomi atau embargo, dan ancaman melakukan pembalasan yang telah disebutkan diatas akan sangat efektif jika didahului dan didukung dengan area militer sebagai kekuatan utama khususnya melalui senjata nuklir. Intinya, deterrence adalah suatu upaya untuk menggertak negara lawan agar tidak melakukan penyerangan. Sebagai contoh adalah Amerika Serikat selama Perang dingin menerapkan strategi deterrence dalam usahanya membendung hegmoni Uni Soviet. Kronologisnya, awal Perang Dingin secara umum ditandai oleh ideologi pembendungan, dimana AS berusaha mempengaruhi negara-negara terutama di Eropa Barat termasuk Korea Selatan agar mempertahankan ideologi liberalis. Ini sebagai bentuk tandingan terhadap US yang terlebih dahulu menyebarkan ideologi komunisnya kepada negara-negara yang hancur dan kalah pada saat Perang Dunia II, semisal negara-negara di Eropa Timur. Jadi, pembendungan ideologi yang dijalankan AS ini dimaksudkan agar ideologi komunis tidak menyebar terlalu luas sebab akan mengancam eksistensi AS. Selain itu, antara AS dan US juga melakukan proxy wars dengan memanfaatkan negara-negara di Afrika, Asia, Amerika tengah, dan Amerika Selatan sebagai pion-pion mereka. Salah satu bentuk dari proxy wars adalah Perang Korea.
Konsep deterrence tidak hanya berlaku untuk intern suatu negara saja namun juga dalam ekstren negara misalnya dalam lingkup aliansi. Strategi ini juga merupakan sebuah strategi perlindungan, negara super power memegang hegemoni melindungi aliansinya.. Salah satu contoh strategi ini adalah dibentuknya NATO (North Atlantic Treaty Organization) oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat bertujuan memperbesar dan menyebarkan kekuatan atau hegemoninya agar bisa mereaksi tindakan Uni Soviet dengan reaksi melalui tindakan dan kapasitas yang sama dengan yang telah dicapai oleh Uni Soviet. Akan tetapi ternyata yang terjadi adanya kondisi itu malah membuat militer Amerika Serikat dan Uni Soviet semakin berkembang bukan malah sebagai sebuah tindakan equalitas. Konsep ini adalah substansi dari dari military defense yang merupakan konsep general dari pertahanan esensial suatu negara. Terlepas dari ada atau tidak situasi konflik yang dihadapi suatu negara, aparatur militer baik sarana dan prasarana militer akan selalu mendapat perhatian lebih dalam arti akan selalu dibangun dan diperkuat karena terkait dengan pertahanan fisik esensial suatu negara. Sebagai contoh Indonesia akan melengkapi persenjataan militernya ketika berkonflik dengan Malaysia misalnya dengan membeli pesawat tempur dan kapal dari negara Barat, namun setelah konflik ini usai maka euforia untuk terus melengkapi persenjataan karena perasaan khawatir bahwa Malaysia akan meningkatkan kekuatan militernya dan menyerang Indonesia tetap berpengaruh terhadap Indonesia (Keraf, 1999). Defense pada dasarnya adalah suatu keadaan dimana suatu negara mencegah agar negara lain tidak memiliki power yang seimbang atau bahkan melebihi power yang dimilikinya, dengan cara menaikkan power negaranya. Kekhawatiran ini akan berujung pada munculnya ketakutan akan kebangkitan lawan sebagai suatu negara hegemon yang dapat megalahkan hegemoni negaranya. Perbedaan yang dapat dilihat antara deterrence dan defense adalah saat dimana sebuah negara sadar terhadap power yang dimiliki oleh negara lain, deterrence yaitu saat mereka sadar bahwa power lawan akan menjadi sebuah kekuatan baru yang mengancam mereka sehingga terjadi pencegahan terhadap terjadinya hal itu dan defense saat sebuah negara sadar bahwa power lawan telah mengancam mereka sehingga yang dilakukan adalah mencegah power tersebut bertambah besar.
Konsep diatas dilengkapi dengan konsep compellence yang secara harfiah dapat diartikan sebagai memaksa, namun secara esensi dapat diartikan sebagai bentuk usaha persuasif dalam level yang cenderung koersif suatu negara untuk memaksa negara lawan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan hal yang menjadi kepentingan pihak pemberi compellence. Aplikasi compellence dapat disarikan dari contoh kasus pengembangan nuklir oleh Amerika yang tidak digunakn dalam total war atau perang terbuka melainkan dijadikan sarana teror untuk meng-compel lawan-lawannya. Misalnya dalam perang dingin Amerika menggunakan senjata nuklirnya untuk memperoleh pendukung ideologi politis liberalnya dengan meng-compel negara-negara yang memiliki power dibawah mereka. Dapat dikatakan bahwa konsep compellence ini adalah ranah yang dikuasai oleh negar-negara super power ddalam arti hanya negara-negara kuat yang mampu meng-compel negara-negara yang memiliki power di bawah mereka. Konsep ini juga memasukkan hitungan matematis dalam aplikasinya, karena jika suatu negara akan meng-compel negara lain maka harus diklasifikasikan dulu dimana letak hierarki power negara lawan dibanding negaranya. Dari konsep deterrence dan compellence ini kemudian muncul suatu konsep perilaku yang disebut compliance. Secara harfiah compliance berarti pemenuhan. Pemenuhan disini berarti keadaan dimana suatu negara patuh dan mau melaksanakan kepentingan dari negara yang meng-compelnya maka keadaa tersebut dinamakan compliance.
Jadi, konsep – konsep diatas mengedapkan aspek ketakutan baik secara fisik maupun seara psikis sehingga dapat diasumsikan bahwa ketiga konsep tersebut adalah substansi dari pandangan paham realis yang mengedepankan efek ketakutan akibat teror. Secara kronologis dapat juga digambarkan bahwa compliance adalah hasil akhir dari keberhasilan aplikasi deterrence dan compellence, namun pihak lawan juga akan melakukan defense sebelum mencapai keadaan tersebut, jadi konsep defense adalah raksi dari adanya deterrence dan compellence.
Sebagaimana kodrat teori adalah untuk dikritik (Suryana, 2009), berkaca pada teori-teori yang telah ada sebelumnya seperti realis, liberlais dan marxis yang tidak lepas dari kritikan, deterrence, defense dan compellence juga tidak lepas dari kritikan. Misalnya munculnya logika kritis yang menganggap bahwa ketiga tersebut hanya memperburuk masalah keamanan internasional. Normatifnya, ketiga konsep tersebut memang diarahkan untuk mencapai keadaan damai dalam konsep Balance of Power namun faktanya ketiga konsep tersebut justru mengedepankan sisi teror mereka sehingga konsep balance of power mengalami pergesaran paradigma mejadi balance of teror. Kritik lainnya adalah cerminan dari kasus peluncuran rudal balistik oleh Amerika untuk men-deter lawan-lawan politisnya menghabiskan dana yang luar biasa banyak sehingga muncul kritik dari kaum ekonomis yang menyatakan bahwa dana militer tersebut akan lebih berguna jika dialokasikan untuk pembangunan domestic. Dalam kasus yang sama uga muncul pihak oposisi dari kebijakan pembangunan rudal balistik ini dari pihak pacinta lingkungan yang menyatakan bahwa nuklir yang terjandung dalam rudal tersebut akan membawa dampak buruk bagi lingkungan. Ketiga, oposisi datang dari pihak penekan dan kelompok kepentingan lain yang menatakan keberatan dengan pembatasan kebebasan masayarakat dan pembangunan kompleks-kompleks militer yang mengganggu masyarakat domestic.


Referensi :
Asrudin; Suryana, Mirza Jaka, dkk, REFLEKSI TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL (dari Tradisional ke Kontemporer) Graha Ilmu : 2009,
Griffiths, Martin and O’Challagan Terry, International Relations The key Concepts, 2002
Kegley, C.W., dan Witkopf Eugene R. 1997. World Politics : Trend and Transformation. New York, S.A. Martin’s press
Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua. 2001. ILMU PENGETAHUAN: Sebuah Tinjauan Filosofis. Kanisius : 2001
Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace
Plano, Jack C. & Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Jakarta: Penerbit Putra A
Bardin.
http://home.att.net/~nickols/strategy_definition.htm diakses tanggal 20 April 2010 jam 02.30 WIB
http://sloanreview.mit.edu/smr/issue/2008/winter/21/ diakses tanggal 20 April 2010 jam 03.00 WIB